/0/5753/coverbig.jpg?v=fa2c227f29af7072ec86407faa489324)
"Percuma kamu Bapak sekolahkan tinggi-tinggi! Susah-susah pun maksain kamu biar masuk SMA, tapi mana nyatanya sekarang! Sudah mau satu tahun lulus sekolah tapi belum kerja juga! Belum ngasilin duit! Mending adik kamu yang sekolahnya SMP doang, sudah punya pacar anak tukang daging sapi, hidupnya terjamin!" celoteh Bapak. Orang yang Sumi paling takutkan ketika sudah bicara. Sumi menghela napas. Dia masih membelekangi Bapak dan mengiris bawang merah untuk masak. Untuk ke sekian kalinya omelan itu terasa menusuk hati Sumi. Bapak selalu mengungkit keinginannya untuk bersekolah lagi dan menyalahkan karena sampai saat ini belum menghasilkan rupiah. Hinaan, cibiran dan perlakuan Bapak membuat Sumi benar-benar terluka. Namun rupanya Tuhan mendengar setiap alunan doa yang dipanjatkan olehnya. Pertemuannya dengan Hiraka Yamada---seorang pegolf yang merupakan bos dari salah satu perusahaan automotive ternama di tanah air membuka jalannya untuk meraih kejayaan. Namun ada satu hal yang tiba-tiba terasa kosong, Zaki---sahabat dekat Sumi yang dulu selalu ada ketika dia butuhkan tiba-tiba menghilang. Sumi tak tahu jika Zaki menaruh rasa padanya. Zaki pergi dengan masih memendam segenggam cinta di hatinya. Akankah kehidupan mereka berakhir bahagia?
"Percuma kamu Bapak sekolahkan tinggi-tinggi! Susah-susah pun maksain kamu biar masuk SMA, tapi mana nyatanya sekarang! Sudah mau satu tahun lulus sekolah tapi belum kerja juga! Belum ngasilin duit! Mending adik kamu yang sekolahnya SMP doang, sudah punya pacar anak tukang daging sapi, hidupnya terjamin!" celoteh Bapak. Orang yang Sumi paling takutkan ketika sudah bicara.
Sumi menghela napas. Dia masih membelekangi Bapak dan mengiris bawang merah untuk masak. Untuk ke sekian kalinya omelan itu terasa menusuk hati Sumi. Bapak selalu mengungkit keinginannya untuk bersekolah lagi dan menyalahkan karena sampai saat ini belum menghasilkan rupiah.
"Iya, Pak! Sumi juga lagi berusaha cari kerja! Sudah kirim lamaran juga!" tukas Sumi lirih, tak berani menatap wajah Bapak.
"Ya, tapi mana atuh? Tiap hari ngabisin duit doang buat fotokopi, buat bikin kartu kuning, kartu SKCK, mana? Mana hasilnya?!" Suara Bapak makin meninggi membuat Ibu yang tengah menidurkan Asril---balita berusia tiga tahun---adik sumi yang paling kecil melerai.
"Pak, sudah! Kasihan Sumi! Kalau belum rejeki, ya, mau gimana, toh?" tukas Ibu. Perempuan yang omongannya pun biasanya Bapak anggap angin lalu.
"Ini nih, semuanya gara-gara Ibu! Coba dulu gak usah nurutin kemauannya buat sekolah lagi, ngabisin duit doang! Gak ada hasilnya!" bentak Bapak.
Setelah itu, Sumi pasti akan menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Ibu yang membelanya dan Bapak yang selalu menyudutkannya tak pernah satu kata.
Sumi menghentikan irisan bawangnya. Dia berjalan menunduk meninggalkan dapur yang hanya tersekat bilik teriplek dengan ruang tengah. Keluar melalui pintu samping. Sumi mengambil pakan ayam dan memberikannya sambil membiarkan tangisnya tumpah.
Rupanya nilai yang tinggi memang tak menjamin kesuksesan. Semua prestasi selama sekolah menguap begitu saja. Perawakan Sumi yang hanya seratus lima puluh senti, membuatnya selalu kesulitan mendapatkan pekerjaan. Entah sudah berapa puluh lamaran yang dikirimkannya. Namun semua menguap begitu saja. Benar yang dikatakan Bapak, dia tak berguna, hanya membuang-buang waktu dan menghabiskan uang orang tua.
Sumi memanddangi ayam-ayam kampung peliharaan Ibu sambil menyeka air mata. Hatinya sedih dan luka atas perlakuan Bapak, tetapi bisa apa? Dia hanya bisa berdoa, menangis dan begitulah berulang sambil menunggu keajaiban.
"Sumi! Kamu masaknya cepetan! Sebentar lagi keluarga calon suaminya Intan akan datang! Jangan malu-maluin, nanti tamu datang belum ada apa-apa! Kamu itu memang selalu ingin membuat Bapak malu ya di depan calon besan atau jangan-jangan kamu iri sama Intan?" Suara Bapak membuat Sumi bergegas menyeka air mata.
"Iya, Pak! Bentar!"
Hanya itu kalimat yang terlontar. Ditinggalnya ayam-ayam itu yang menjadi alibinya untuk menangis di samping rumah yang ada di tepi sawah itu. Ya, kampung Sumi berada di pinggiran Kawasan industri, masih ada petakan-petakan sawah milik tetangganya yang terbentang. Beberapa warga generasi lama pun masih ada yang bertahan sebagai petani, sebagiannya sudah beralih profesi ada yang menjadi tukang sapu di Kawasan, ada yang kuli tanam rumput di para mandor pengelola yang sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan.
Bapak membanting pintu dan meninggalkan Sumi. Dia kembali menangkup wajah. Rasanya tertekan sekali selalu mendapat perlakuan seperti itu dari Bapak. "Apakah sebetulnya aku ini bukan anak kandungnya?" Kadang pertanyaan itu terlintas dalam benak Sumi. Mengingat perlakuan Bapak selalu beda padanya dan pada Intan---adiknya.
Keluarga calon besan datang. Beruntung Sumi sudah menyelesaikan masakannya. Ayam surrundeng itu sudah tersaji di meja makan. Begitu pun air panas dalam termos, beberapa piring kue yang mendadak dipesan dan beberapa sachet kopi siap dituang. Sumi menyajikannya. Intan yang baru pulang dari jahit pakaian pun membantunya.
"Teh, maaf ... Intan lama, ya! Teteh masak sendirian jadinya!" tukasnya merasa tak enak. Intan memang berhati lembut. Dia pun mengalah untuk tak sekolah SMA karena dia sadar jika dia tak secerdas Sumi. Umurnya yang hanya selisih dua tahun, membuat keluarga harus memilih siapa yang akan melanjutkan sekolah pada akhirnya. Intan mengalah, lagi pula dia pun tak terlalu berminat untuk bekerja. Mending cari suami, ada yang ngasih nafkah katanya.
"Gak apa, Tan! Sudah selesai, kok! Ayo bantu teteh bawain ke depan!" tukas Sumi. Dia membersihkan tangan dan membasuh muka dulu agar tak terlalu terlihat kusut di mata tamu. Ini kali pertamanya keluarga Ardi---calon suami Intan datang.
Ardi---lelaki yang awalnya mendekati Sumi itu tak bisa membuang pandang. Dia mencoba mendekati Intan karena Sumi mengatakan akan bekerja dulu dan tak bisa menerima lamarannya. Akhirnya dia mendekati Intan karena memang wajahnya mirip dengan Sumi. Namun entah dengan hati, dia pun tak yakin sebetulnya dia jatuh hati pada Intan atau pada Sumi. Menatap gadis manis itu ke depan, Ardi lupa jika yang ditujunya adalah Intan.
"Nah ini anak-anak saya, Bu Marwah, Pak Amin! Ini Sumiati---kakaknya, yang ini Intan---adiknya. Alhamdulilah kalau Intan ini penurut, dia lebih mikirin keluarga."
Intan duduk di ruang depan, bergabung bersama Ibu, Bapak dan Asril yang tengah asik bermain pasir. Sementara itu, Sumi kembali ke dalam. Entah kenapa mendengar pernyataan Bapak, hatinya mendadak sesak. Bapak seolah hendak mengatakan jika dirinya yang memaksa bersekolah itu seolah tak memikirkan kepentingan keluarga.
Sumi berdiam di dapur, diambilnya gawai jadul yang sudah ketinggalan zaman. Ponsel bekas temannya yang dibelinya dari hasil membantu memotong padi di sawah di sela-sela waktu sekolahnya. Sumi membelinya agar ketika ada panggilan pekerjaan itu mudah. Meskipun lagi-lagi Bapak selalu mencibirnya. Rupanya ada pesan dari Tita---teman sekelasnya yang kini sudah kerja di salah satu perusahaan automotive. Tita beruntung karena memiliki tubuh tinggi, meskipun dia tak pernah mendapatkan ranking di kelas, tetapi nyatanya dia lebih mudah mendapatkan pekerjaan dari pada dirinya yang tak pernah geser dari tiga besar.
[Sum, aku ada info lowongan, tapi gajinya kecil, mau gak? Tapi ada tips juga katanya yang lumayan! Kalau mau bawa lamarannya ke rumah sore nanti, ya!] tulisnya. Jemari Sumi dengan semangat mengetik balasan dengan cepat.
[Lowongan di mana? Aku selalu gak lolos tinggi badan, Ta! Tapi aku mau coba. Gak apa gaji kecil yang penting kerja dulu.]
Tampak Tita tengah mengetik.
[Kerja jadi caddy di lapangan golf, Sum! Kebetulan lagi banyak membutuhkan!] tulisnya.
Sumi belum sempat mengetik pesan balasan ketika Bapak muncul dan menyiramkan air padanya. Beruntung ponselnya tidak kena, jadi masih selamat.
"Kamu itu memang anak pembawa sial! Kenapa juga masih di rumah gak kerja-kerja! Gara-gara kamu juga, Intan jadi batal dilamar!" bentak Bapak.
Sumi mengusap wajahnya yang basah. Menatap Bapak dengan pandangan sedih dan nanar. Apa lagi salahnya? Bahkan sejak pagi sudah susah payah memasakkan untuk keluarga calon suami Intan. Namun kenapa kini malah dirinya yang kembali disalahkan.
“Aku tidak mengirim istriku untuk menjadi pembantu di sini, Ma. Kenapa dia sibuk mengambil piring dan gelas kotor, sementara kalian enak-enakan makan?” Alka melempar protes ketika sang istri yang dicintainya diperlakukan semena-mena. Menjadi orang tidak berpendidikan tinggi dan tidak berpunya membuat Madina dibeda-bedakan di keluarga suaminya. Terlebih Alka---sang suami, memiliki pendidikan paling rendah juga disbanding ketiga kakaknya. Tuti---ibu mertua Madina terasa sangat pilih kasih. Sering kali dia memperlakukan Madina seperti pembantu dan bukan menantu. Pada acara ulang tahunnya, Madina dicibir dan direndahkan. Bahkan dia disuruh membantu membereskan piring dan gelas kotor. Mereka mengira Madina datang hanya untuk menumpang makan, karena sepertinya tidak mungkin dia membelikan hadiah yang mewah. Semua anggota keluarga tahu jika Madina dan Alka hidupnya hanya rata-rata. Semua hinaan, kepedihan dan rongrongan dari keluarga sang suami membuat rumah tangganya kerap kali diterpa badai. Terlebih Tuti---sang ibu berharap memiliki besan dengan seorang yang terpandang. Dia mencoba memasukkan Ratna dalam kehidupan sang putra. Para Ipar dan Mertua Madina berusaha keras agar Ratna bisa menjadi istri kedua dari Alka. Bagaimanapun mereka diiming-imingi kehidupan mewah dan menyenangkan oleh Ratna. Hingga akhirnya persekongkolan itu membuat sebuah kesalah fahaman besar terjadi antara Madina dan Alka sehingga membuat mereka terpisah jarak dan antara. Dalam kesendirian itu, Madina yang memang sudah merintis karir dalam dunia literasi menemukan jalan rejekinya. Salah satu novel yang ditulisnya viral dan dirinya mendadak terkenal dengan nama pena yang tidak diketahui oleh keluarga suaminya. Begitu pun dengan Alka yang merasa ditinggalkan dan mengira jika Madina lebih memilih lelaki dari masa lalunya, dia sibuk memperbaiki kehidupan ekonominya. Akankah keduanya kembali dipertemukan dan bisa menjalani hidup penuh kebahagiaan? Ataukah semuanya berakhir, Madina dan Alka berjalan masing-masing dengan pilihan hidupnya?
“Nay! rempeyek kacang apaan kayak gini? Aku ‘kan bilang mau pakai kacang tanah, bukan kacang hijau!” pekik Natasya. Dia membanting bungkusan rempeyek yang sudah Rinai siapkan untuknya. Natasya berniat membawanya ke rumah calon mertuanya dan mengatakan jika itu adalah rempeyek buatannya. “Maaf, Sya! Bahan-bahannya habis kemarin. Aku uangnya kurang, Sya! Uang yang kamu kasih, sudah aku pakai buat berobat ibu. Ibu lagi sakit,” getar suara Rinai sambil membungkuk hendak memungut plastik yang dilempar kakak tirinya itu. Namun kaki Natasya membuat pergerakannya terhenti. Dia menginjak-injak plastik rempeyek itu hingga hancur. *** “Aku mau beli semuanya!” ucap lelaki itu lagi. “T—tapi, Bang … yang ini pada rusak!” ucap Rinai canggung. “Meskipun bentuknya hancur, rasanya masih sama ‘kan? Jadi aku beli semuanya! Kebetulan lagi ada kelebihan rizki,” ucap lelaki itu kembali meyakinkan. “Makasih, Bang! Maaf aku terima! Soalnya aku lagi butuh banget uang buat biaya Ibu berobat!” ucap Rinai sambil memasukkan rempeyek hancur itu ke dalam plastik juga. “Aku suka perempuan yang menyayangi ibunya! Anggap saja ini rejeki ibumu!” ucap lelaki itu yang bahkan Rinai sendiri belum mengetahui siapa namanya. Wira dan Rinai dipertemukan secara tidak sengaja, ketika lelaki keturunan konglomerat itu tengah memeriksa sendiri ke lapangan tentang kecurigaan kecurangan terhadap project pembangunan property komersil di salah satu daerah kumuh. Tak sengaja dia melihat seoarng gadis manis yang setiap hari berjualan rempeyek, mengais rupiah demi memenuhi kebutuhannya dan sang ibu. Mereka mulai dekat ketika Rinai menghadapi masalah dengan Tasya---saudara tirinya yang seringkali menghina dan membullynya. Masa lalu orang tua mereka, membuat Rinai harus merasakan akibatnya. Harum---ibunda Rinai pernah hadir menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang tua Tasya. Tasya ingin menghancurkan Rinai, dia bahkan meminta Rendi yang menanangani project pembangunan property komersil tersebut, untuk segera menggusur bangunan sederhana tempat tinggal Rinai. Dia tak tahu jika lelaki yang menyamar sebagai pemulung itu adalah bos dari perusahaan tempat kekasihnya bekerja. Wira dan Rinai perlahan dekat. Rinai menerima Wira karena tak tahu latar belakang lelaki itu sebenarnya. Hingga pada saatnya Wira membuka jati diri, Rinai benar-benar gamang dan memilih pergi. Dia merasa tak percaya diri harus bersanding dengan orang sesempurna Wira. Wira sudah frustasi kehilangan jejak kekasih hatinya. Namun tanpa disangka, takdir justru membawanya mendekat. Rinai yang pergi ke kota, rupanya bekerja menjadi ART di rumah Wira. Bagaimanakah kisah keduanya? Akankah Rinai kembali melarikan diri ketika tahu jika majikannya adalah orang tua Wira?
“Percuma kamu punya suami modal tampang doang! Memangnya hidup mau kenyang hanya cuma makan cinta? Tiap hari kerjanya hanya ngendon di kamar dan jalan-jalan keliling komplek bawa kamera!” hardik bapak sambil melempar sayuran sisa jualanku hari ini. Aku hanya terdiam. Sudah bosan beradu debat dengan bapak yang selalu merendahkan dan menghina Mas Yasa. Lelaki yang sudah dua tahun terakhir ini menjadi suamiku. Pekerjaan Mas Yasa memang hanya serabutan. Namun Bapak tak pernah mau tahu meskipun sebetulnya ada sesautu yang tengah Mas Yasa perjuangkan untuk kami di masa depan. Suatu saat Bapak pasti akan menyesal karena telah menghina suamiku habis-habisan.
Sukma hanyalah gadis sebatang kara yang menumpang hidup di keluarga Ambu dan Abah. Sukma terpaksa harus mengubur harapan indah hidup bersama Ahsan---lelaki yang dicintainya. Ambu meminta Sukma menggantikan Prisilia untuk menikahi anak sahabat lama Abah yang cacat dan sudah duda. Sukma berusaha sekuatnya percaya pada takdir dan jodoh. Demi membalas hutang budi itu, akhirnya dia melepas Ahsan dari hatinya. Namun tanpa disangka, ternyata sosok calon suaminya yang bernama Raga pada akhirnya membuatnya menjadi wanita paling bahagia karena dicintai, diistimewakan dan dihargai. Akankah cinta sejati Sukma dan Raga akan abadi? Atau luluh lantah karena hadirnya orang ketiga?
Novel ini merupakan novel bergenre romantic komedi yang memiliki konflik percintaan yang unik. Karakter tokoh utama wanita---Srikandi yang cuek dan pemberontak, tokoh Bisma yang lembut dan bijak serta tokoh Arjuna---bos tampan yang semena-mena membuat alur dalam cerita ini begitu hidup dan mengalir dengan sendirinya. Siapapun yang mengikuti ceritanya akan ketagihan untuk mengetahui setiap babak baru dalam episode berikutnya. Terlebih kisah cinta segi lima antara tiga orang pria dengan dua orang wanita yang rumit dan berakhir dengan mengejutkan. Dengan siapakah pada akhirnya Srikandi bersanding? Selain itu cara mereka menuju jenjang pernikahannya itu terkesan nyeleneh dan bisa membuat orang senyum-senyum sendiri.
[Heyyy! Gadis kampung! Ini peringatan saya yang ke sekian! Kamu pake guna-guna apa, hah?! Cepetan hilangkan ilmu hitam yang kamu kirimkan pada Ashraf! Kamu tidak pantas menjadi menantu di keluarga Adireja!] Aku menghela napas panjang. Sehari setelah aku menerima lamaran Tuan Muda Ashraf, aku selalu mendapatkan terror dari nomor yang tidak dikenal. Pikiranku yang sedang kacau oleh hal itu, bertambah runyam oleh omelan yang keluar dari mulut cabenya Teh Selvi. “Kalau semua ayam yang kamu goreng gosong? Kamu pergi lagi ke pasar beli ayam lagi pake duit kamu sendiri, punya gak?” cibirnya. Dia tak pernah bosan menghinaku karena kastaku yang dianggapnya rendahan. Aku lupa ada sepasang netra yang menatapku sambil berlinang. “Ibu kenapa?” Aku menoleh ke arahnya setelah Teh Selvi berlalu. “Maafin Ibu sama ayah kamu, Ta! Kalau saja kami punya uang dan menyekolahkan kamu tinggi, mungkin kakak-kakak sepupumu tidak akan merendahkanmu seperti ini?” isaknya. Wa’ Imah hanya sesekali melirik kearahku dan Ibu. “Bu, sudahlah! Sinta tidak apa-apa! Tuhan tidak akan salah memilih orang yang akan Dia tinggikan, Allah tidak hanya melihat dari pendidikannya. Meskipun seluruh dunia merendahkan orang itu, jika Allah meninggikannya semua bisa apa? Ibu hanya perlu mendoakanku agar tetap menjadi orang yang penuh syukur dan berada di jalan-Nya. Ibu mau kan
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.