-puing kepedihan yang sulit untuk disatukan kembali. Beberapa hari yang lalu, vonis dokter bagaikan palu godam yang menghantam: ia tidak bisa memiliki anak. Rahimmya terlalu lemah, impian tentang ta
erlindungan dari kenyataan yang begitu kejam. Foto pernikahannya dengan Bagas tergeletak di atas nakas, menampilkan senyum-senyum bahagia
ang dulu selalu Anjani kenal. Matanya menatap Anjani dengan pandangan hampa, seolah Anjani adalah benda
mencelos, tercekat. Ia mencoba meraih tangan Bagas, berharap ada sedikit belas kasih di sana,
inta yang dulu mereka rajut dengan begitu indah, janji-janji setia yang terucap di hadapan Tuhan, kini hancur lebur hanya karena
enuh kasih sayang di hadapan Anjani, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang kejam dan tak berpe
uk, tanpa basa-basi. Matanya menatap Anjani dengan jijik, sama sepe
pa maksud, Bu?" tany
di dada. "Apa lagi? Bagas akan meni
ing. Sinta? Adik tirinya? Adik yang ia sayangi, yang ia lindungi,
gelengkan kepala tak percaya. "Sint
ebih cocok untuk Bagas. Dia muda, subur, dan tentu saja, dia bisa
menyakitkan daripada vonis dokter sekalipun. Orang-orang yang ia cintai, orang-orang yang seharusn
lah tubuhnya pun ikut remuk. Ia menatap Ibu Rita dengan pandangan
njani. Kau tidak berguna lagi. Sekarang, cepat kemasi barang-barang
menyeret beban seribu ton. Di lemari pakaian, ia melihat gaun pengantinnya yang tergantung rapi. Dulu, ia membayangkan g
arang yang ia bawa. Seolah, ia ingin meninggalkan semua kenangan pahit ini di rumah yang dulunya ia snya datar, tanpa ekspresi. Di sampingnya, Sinta berdiri dengan senyum tipis yang penuh kemenanga
Bukan hanya sakit hati, tapi juga kemarahan yang membara. Bagaimana bisa Sinta, adik tirinya,
nya Bagas, suara
inta bergantian. Ada kebencian yang mulai tumbuh di
a terdengar lembut, tapi ada nada ejekan yang jelas di dala
bih seperti rintihan. "Bagaimana aku bisa tenang setel
aju selangkah. "Jaga bic
jani tidak bisa menahan emosinya lagi. Semua kekecewaan, kemarahan, dan rasa sakit yang ia rasakan meledak. "Kau, Bagas, kau
gannya. "Keluar dari r
at ini baik-baik, Bagas! Dan kau, Sinta! Aku akan kembali! Aku tidak a
rumah itu. Ia tidak peduli ke mana kakinya melangkah. Yang ia tahu, ia harus pergi
atau ke mana tujuannya. Kota Jakarta yang ramai terasa begitu asing, begitu kejam. Setiap orang yang berpapasan
ok. Ia mengeluarkan ponselnya, berharap ada seseorang yang bisa ia hubungi, seseorang yang bisa memberinya sedikit kekuatan. Namun, daftarn
" bisiknya pada angin. "Ak
ria yang menikahi ibunya setelah ayahnya meninggal, dan membawa Sinta ke dalam hidup mereka. Anjani dan Pak Rahmat tidak p
n akhirnya mengangkat pan
n tergesa-gesa. "Anjani, kau harus
Anjani merasaka
arang para rentenir mengancam akan membunuh Ayah jika Ayah tidak bisa membayar. Dan satu
semua yang terjadi? "Menikah dengan siapa
mpuh. Tapi dia kaya raya. Keluarga mereka bersedia melunas
ipun. Setelah dicampakkan karena tidak bisa memiliki anak, ia kini dipaksa menikah dengan pria lumpuh demi melunasi utang-
menggelengkan kepala, air mata kembali
membunuh Ayah! Apa kau tega melihat Ayah mati di tangan para penagih utang it
a keluarga yang tersisa baginya setelah Sinta dan Bagas mengkhianatinya. Ia tidak bisa me
lumpuh, dan semua ini hanya demi melunasi utang? Rasanya seperti
cara lain?" Anjani
Pernikahan ini harus terjadi dalam
belum sempat mencerna semua kejadian hari ini. Hatinya hancur, jiwanya
" Suara Pak Rahmat ter
lap, tanpa jalan keluar. Di satu sisi, ia tidak ingin Pak Rahmat
s selalu menjadi korban? Dibuang suami, dikhianati adik, dan sekarang dipaksa menik
a. Api amarah. Api dendam. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus-menerus diinjak-i
an menggunakan pernikahan ini sebagai jembatan. Jembatan untuk bangkit, jembatan untuk
yang mengukir di bibirnya. Ia teringat bagaimana Bagas menatapnya seolah
ar dingin dan mantap, bahkan mengejutkan di
"Terima kasih, Anjani! Terima kasih! Ayah akan
ngit kelabu di atasnya. Air matanya sudah
ri perjuangan untuk mendapatkan kembali hidupnya. Ia akan menerima perjodohan ini, ia akan
t Bagas dan Sinta menyesali perbuatan mereka. Dengan tatapan kosong, ia melihat bayangan dirinya di
i ancaman utang Pak Rahmat. Di sisi lain, itu adalah pintu masuk ke dunia yang sama seka
mau menanggung utang sebesar itu hanya untuk pernikahan ini? Pasti ada sesuatu yang lebih dari
g, tapi kini ia merasa memiliki tujuan. Tujuan untuk membal
embayangkan bagaimana rasanya hidup bersama seorang pria yang lumpuh, bagaimana ia akan beradaptasi dengan keterbatasannya. Ia juga membayangkan bag
a mungkin meremehkannya, mengira ia sudah hancur tak berdaya. Tapi mereka salah. Anj
i bawah matanya, wajahnya pucat. Namun, di matanya, ada kilatan tekad yang membara. Ia men
babak di mana ia akan berjuang untuk dirinya sendiri, dan babak di mana ia akan membalas
rsisa adalah Anjani yang baru, yang siap menghadapi segala rintangan, ya