/0/15467/coverbig.jpg?v=dacfdaa85a9f4041de19d028a9365662)
Ada kenikmatan luar biasaya yang dijanjikan di alam sana... Temukan keseruannya. Khusus Bacaan Dewasa
“Terima kasih Pak Satpam!” ucap Nurdin penuh rasa hormat.
“Security, Mas,” balas lelaki setengah baya berseragam security.
“Oh iya maaf, terima kasih Bapak Security sudah mengantar saya.” Nurdin kembali mengulangi ucapan terima kasihnya lebih panjang. Sepenjang rasa geli yang menggelitik jiwanya.
‘Manusia aneh, memang apa bedanya Satpam dengan Security?’ ucap Nurdin dalam hati sambil menatap punggung lelaki setengah baya itu yang dalam sekejap mata sudah menghilang di kegalapan malam.
‘Eh, cepet amat dia ngilangnya?’ tanya Nurdin lagi dalam hati, ‘Wmang dia satpam dari bagian mana sih?’ Nurdin baru tersadar jika belum sempat bertanya dan memperhatikan secara detail saat tadi jalan bersamanya.
Di proyek ini terdapat puluhan satpam yang betugas di masing-masing bagiannya. Banyak juga bagian keamanan yang tidak berseragam. Lebih tepatnya disebut centeng, preman atau sejenisnya. Proyek raksasa ini memang sangat rawan dari gangguan ormas, LSM juga warga sekitarnya.
Nurdin pun langsung masuk ke kamarnya dan langsung tiduran. Namun tiba-tiba dia mendengar suara yang sedikit mengganggu rasa penasarannya.
Suara seorang perempuan penuh desah kemanjaan yang seakan memanggil-manggil namanya beberapa kali. Dahi Nurdin pun mengkerut, hatinya bimbang dengan pendengarannya sendiri. Menurutnya, tak mungkin ada perempuan yang memanggilnya di tengah malam seperti ini.
Nurdin lalu melupakan suara itu.
Beberapa saat kemudian, Nurdin mendengar langkah kaki di depan kamarnya, tapi dia tahu itu langkah kaki Fatria, teman satu pondokannya. Nurdin pun bergegas membuka pintu kamarnya, dan memanggil Fatria yang hendak masuk ke kamarnya di sebelah kamar dia.
“Fat, jam berapa ini?” tanya Nurdin.
“Setengah satu kurang,” jawab Fatria sambil membetulkan celananya yang baru selesai buang air kecil di kamar mandi.
“Lu kan punya arloji, ngapain tanya jam sama gua?” Fatria kemduoan balik bertanya heran.
“Arloji gua mati! Eh, sebentar, Fat!” Nurdin keluar dari kamarnya mendekati Fatria yang berdiri di ambang pintu kamarnya.
“Lu tadi waktu ke kamar mandi ngeliat ada cewek gak di sekitar sini?” tanya Nurdin berbisik.
“Maksud lu?” Fatria sontak mengkerkerutkan dahinya, makin heran dengan tingkah temannya.
“Gua ngedenger suara cewek di samping kamar. Kaya manggil-manggil nama gua gitu, Fat!.”
“Pecun kali, hehehe!” jawab Fatria sekenanya.
“Alah, gak yakin gua!” Nurdin mendesah gelisah, “Gua serius, Fat. Dari tadi kagak bisa molor gara-gara ngedenger suara itu.” Nurdin mengekspresikan wajahnya super serius.
Fatria berpikir sejenak, tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Seingatnya, waktu dia ke kamar mandi, tidak melihat sekelebat manusia. Pondokan itu sangat sepi, relatif jauh dengan pemukiman penduduk dan saat ini sudah lewat tengah malam. Beberapa mahasiswa magang pun sudah pada tidur. Dan tiak pernah ada orang lain yang main ke sana kalau sudah malam.
“Mungkin lu lagi kangen sama cewek lu, Bro!” ucap Fatria agak kesel.
“Maksud lu, Ariani? Ah, suara dia tidak seperti itu, Fat. Lagian dia ada di Batam, kagak mungkin ke sini. Gila, kalau ngomong gak pake logika lu!” semprot Nurdin yang juga ikut kesal.
“Ya berarti lu lagi halu, Blog! Halusinasi! Ah, ngapain juga lu repot-repot mikirin suara yang gak jelas gitu. Emangnya lu petugas rekaman apa?” sergah Fatria sambil masuk ke kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat.
‘Sialan!’ Nurdin mengeluh dalam haati. Desah napasnya tipis, lalu membalikan badan hendak kembali ke kamarnya.
“Hah!” seru Nurdin pelan dan langkahnya pun tiba-tiba terhenti saat hendak masuk kamarnya.
Mata Nurdin memandang sekeliling. ‘Oh, pondokan itu amat sepi dan lengang,’ pikirnya.
Denny yang biasanya masih memutar musik sampai jauh malam, kali ini agaknya sudah tidur. Lampu di kamarnya telah padam juga. Lampu-lampu di kamar lain pun padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya masih menyala, kamar Mahmud dan kamar Tegar. Mungkin mereka sedang menekuni materi proyek yang tadi siang dipaparkan senior.
‘Aduh!’ Tiba-tiba Nurdin mengaduh saat tengkuknya terasa meremang lagi. Nurdin bergidik, badannya bergerak dalam sentakan halus, ketika dia masuk ke kamarnya dan hendak menutup pintu, kembali suara perempuan itu terdengar dalam desah kenikmatan yang memanggilnya.
“Maaas Nurdiiiiin…! Mas Nurdiiiin….”
Lampu kamar Nurdin sengaja diredupkan. Dia menyalakan lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya, tidur dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat kesejukan tersendiri dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan itu tidak ada. Yang ada justru kegelisahan dari kecamuknya hati yang terheran-heran atas terdengarnya suara panggilan itu.
Angin malam lewat. Desaunya terasa menerobos dari lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu terdengar lagi setelah dua menit kemudian.
“Maas Nurdiiiin… datanglah Maaas…!”
Dengan berkerut-kerut dahi, Nurdin bangkit dari rebahannya. ‘Suara itu sekarang di luar jendela,’ pikirnya.
Nurdin mendekati daun jendela. Ingin membuka jendela tetapi, “Jangan dibuka. Tidak mungkin ada cewek di luar jendela. Dari mana dia masuk? Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin dia memanjat pagar. Kalau ada cewek yang ke sini dan manjat pagar, itu nekat namanya!” cegah hati Nurdin.
Nurdin kemduian menempelkan telinganya pada daun jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin dan gemerisik dedaunan. Kamarnya memang kamar paling ujung dari sederetan kamar-kamar yang ada di pondokan itu. Di samping kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang tanah yang biasa dipakai olah raga oleh seluruh penguni.
Ada lapangan bulu tangkis, dan meja ping-pong yang jika malam dalam posisi miring, menempel dinding kamar Nurdin. Tanah yang merupakan fasilitas olah raga itu dikelilingi pagar hidup berupa pepohonan yang terbuka bebas namun tidak ada penerangan. Sebagian daun dan dahan pohon itu menjorok ke halaman pondokan, dan meneduhkan bagi mereka yang bermain pingpong jika siang hari.
Sudah lebih dari tiga menit Nuedin berdiri depan jendela, tetapi suara perempuan yang menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Dia pun kembali ke pembaringan dan merebahkan dirinya, namun jiwanya terasa semakin resah dan gelisah. Bertanya-tanya,
‘Kenapa gua doang yang ngedenger suara itu? Sepertinya gua kenal suara itu dan pernah ngedengernya langsung. Suara siapa gerangan?”
Ada gonggongan anjing dari rumah belakang pondokan. Gonggongan itu mulanya hanya sesekali. Ditilik dari nada gonggongannya, anjing itu seakan sedang menggoda orang lewat. Tetapi lama-lama gonggongan jadi panjang bersahutan. Mangalun mendayu-dayu mirip irama orang merintih kesakitan. Suara anjing itu menyatu dengan suara perempuan yang kian jelas di pendengaran Nurdin.
“Maaas Nurdiiin! Maaas, sudah lupakah dirimu padaku, Maas Nurdiiiin…!”
“Hah!” Nurdin segera melompat dari tempat tidurnya, lalu membuka jendela.
Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena dia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya. Padahal suara tadi jelas terdengar di sana, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya Nurdin mendengarnya. Tetapi keadaan di luar sangat sepi.
“Brengsek!” hardik Nurdin.
Nurdin menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Nurdin mengeluh kesal sambil duduk di kursi palstik yang ada di setiap kamar pondokan itu. lalu menyalakan lampu utama.
Kamar menjadi terang benderang. Cermin di depannya pun menampakkan wajahnya yang sayu. Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya dengan lembut. Pelan sekali, seakan pengetuknya sengaja hati-hati supaya suara tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya.
Nurdin melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, dia mendengar suara perempuan di seberang pintunya, “Nor…? Normaaan…!”
“Siapa…?!” tanya Nurdin dengan nada kesal, karena tahu, suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang mengganggunya sejak tadi.
Tapi, karena tidak ada jawaban dari sang pengetuk pintu, Nurdin pun berseru lagi, “Siapa sih?! Jawab dong!”
“Aku…Maaas!”
“Aku siapa?! Sebutkan!” Nurdin sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.
“Kinanti, Maas….”
“Hah, Kinanti!” Mata Nurdin membelalak, kaget.
“Masa sih Kinanti?” desahnya dengan nada heran seheran-herannya.