Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Rahasia Penculikan 11 Tahun Silam
Rahasia Penculikan 11 Tahun Silam

Rahasia Penculikan 11 Tahun Silam

5.0
45 Bab
3.6K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Almann dipenjara dengan tuduhan telah melakukan penculikan 11 tahun yang lalu. Padahal sesungguhnya, ia hanya menepati janji pada seorang wanita terkasih yang tak akan pernah bisa ia miliki selamanya.

Bab 1 Anak Yang Diculik

“Maaf Bu Kiki, tolong siswa bernama Hinra ke kantor sekarang, dipanggil Kepala Sekolah.”

“Silakan Hinra,” Bu Kiki langsung memberi perintah setelah sebelumnya memandang sebentar ke wajah siswanya tersebut.

Siswa yang bernama Hinra terlihat merapikan buku di mejanya dan berdiri. Pikirannya berkecamuk, antara senang dan takut. Senang karena akan keluar sementara dari neraka kebosanan, tapi juga merasa takut, karena tidak tahu apa yang membuat ia dipanggil Kepala Sekolah, apalagi di saat jam pelajaran sedang berlangsung.

“Ssttt… Kenapa dipanggil Pak Yusuf?” suara anak perempuan di belakang bangkunya setengah berbisik.

Hinra mengangkat kedua bahu, ia sendiri pun tidak tahu alasannya dipanggil Kepala Sekolah. Dengan berjalan gontai, ia menuju ruang guru. Sesampainya di sana ia mengetuk pintu.

“Masuuukk…” Terdengar suara Kepala Sekolah.

Hinra langsung membuka pintu. Darahnya seketika berdesir melihat orang-orang yang ada di ruangan tersebut. Selain Kepala Sekolahnya Pak Yusuf, ada seorang wanita muda berusia sekitar 20 tahunan, dan dua orang polisi berseragam.

“Duduk…” Suara Pak Yusuf mengagetkan Hinra yang sempat bengong. Sesaat matanya melirik ke arah wanita muda yang duduk di depannya.

Wajah itu terlihat tak asing, tapi ia tidak ingat di mana pernah melihatnya. Yang lebih mengherankan lagi, mata wanita itu terlihat berkaca-kaca, seolah mengenal dirinya.

“Biar Pak Polisi aja yang ngomong langsung sama kamu, ya. Mereka punya beberapa pertanyaan. Silakan Pak..” kata-kata Pak Yusuf Cuma disambut anggukan lemah dari Hinra.

“Okee…,” salah satu polisi dengan name tag bernama Doni memulai sambil memilah semacam berkas di tangannya. ”Mahinra Putra Bahari, ya namanya?” lanjut polisi tersebut.

“Iya..,” Hinra mengangguk dengan jawaban yang hampir tidak kedengaran.

“Siapa nama orang tuanya?”

“Dandi dan Amaliah, Pak. Tapi udah meninggal dua-duanya.”

“Okee.. Jadi sekarang tinggal sama siapa?”

“Sama Abang saya, Bang Almann.”

Sejenak polisi itu menoleh ke arah si wanita yang terlihat mengeluarkan sapu tangan dari tasnya, dan kemudian melanjutkan.

“Yang ini kah yang bernama Almann?”

Polisi itu menunjukkan sebuah foto lama yang sudah agak buram. Tapi terlihat jelas di mata Hinra wajah seorang lelaki muda yang berdiri bersama dua anak perempuan. Tangan lelaki itu terlihat merangkul pundak kedua anak perempuan di depannya. Salah satu anak perempuan terlihat tersenyum, sementara wajah anak perempuan yang lain tampak cemberut.

“I-iya Pak..!!” Hinra tergagap karena merasa ada yang tidak beres.

“Jadi begini…,” polisi itu meletakkan berkas ditangannya dan menatap dalam ke wajah Hinra. ”Nama kamu sebenarnya hanya Mahinra Putra, kamu masih punya seorang Ibu dan dua orang Kakak perempuan. Sedangkan orang yang kamu bilang Abang kamu itu, Saudara Almann, adalah orang yang selama ini menculik kamu. Lebih tepatnya kamu sudah terpisah dari keluarga kandung kamu selama kurang lebih sebelas tahun.”

Hinra tertunduk mendengar kata-kata terakhir dari polisi tersebut. Ada rasa tidak percaya dalam hatinya terhadap apa yang baru saja ia dengar. Badannya gemetar. Pikirannya kacau. Dia berharap ini semua hanya mimpi atau sekedar kesalahan.

“Saudara Almann punya pekerjaan apa sekarang?”

“Abang buka bengkel sepeda di rumah, tapi kadang jadi tukang bangunan kalau ada proyek.” Suara Hinra bergetar. Dia hampir menangis. Ingin rasanya ia langsung berlari pulang, bertanya langsung kepada Bang Almann dan berharap ini semua bohong.

“Oh iya... Ini Saudari Handari. Dia adalah salah satu Kakak kandung kamu.” Polisi itu menunjuk wanita muda yang sejak tadi sudah sibuk menyeka linangan air matanya.

Hinra hanya bisa menatap wanita itu tanpa ekspresi. Dia bingung harus bagaimana, harus melakukan apa. Mau bersalaman dengan orang yang konon adalah kakaknya dia tidak berani, bertemu pun baru hari ini.

“Hinra kamu baik-baik aja kan selama ini?” wanita itu terisak, terlihat jelas dia hanya menahan diri untuk tak langsung memeluk adik yang telah lama dirindukannya. Adik yang terakhir kali dilihatnya berumur tiga tahunan, kini sudah menjadi remaja kelas tiga SMP.

Hinra diam. Hanya matanya yang bergerak menatap Handari, cuma sebentar, kemudian tertunduk lagi. Setelah itu dia sama sekali tidak mendengar apa yang jadi perbincangan di dalam kantor Kepala Sekolahnya. Pikirannya ke mana-mana.

***

“Apa kamu kesini mau membawa Hinra pulang?” tanya Almann pada wanita di depannya.

“Aku rasa pertanyaan itu nggak perlu dijawab karena Abang pasti udah tau jawabannya kan? Hinra itu milik kami sejak lama. Jadi memang udah seharusnya kembali pada kami. Apa Abang merasa keberatan dengan itu?” suara Saliha terdengar sinis.

“Tapi selama ini Hinra hidup sama Abang. Abang yang jaga dia sampai sebesar ini, ini sudah janji Abang.”

“Iya tapi Abang udah ingkar janji. Dulu Abang bilang Cuma 5 tahun, tapi kenapa sampai sekarang Abang nggak pernah mengembalikan dia pada kami? Mama sampai sakit-sakitan.”

“Maaf Liha, Abang nggak bisa kehilangan dia. Kalau kamu bawa dia, sama aja kamu membawa setengah nyawa Abang.”

Mata Almann mulai berkaca. Terlihat air mukanya yang meredup.

“Udah cukup sebelas tahun Bang... Sekarang saatnya Abang merelakan dia. Tadi pagi adalah saat terakhir Abang bertemu Hinra.”

Almann terperanjat. Pikirannya langsung menyadari sesuatu. Refleks ia berdiri dan hendak pergi.

“Nggak usah repot-repot Bang. Hinra sekarang udah nggak ada di sekolahnya. Ai udah menjemput Hinra dan membawanya pergi.”

Kalimat yang dilontarkan Saliha sukses membuat Almann menghentikan langkahnya yang sudah hampir sampai di depan pintu. Sementara Saliha tetap duduk tenang di kursi kayu yang sepertinya agak goyang karena sudah tua.

Perlahan Saliha meraih cangkir teh yang tadi disiapkan Almann di atas meja untuk menjamunya. Ia menyesap tehnya perlahan. Sudah dingin. Ia melirik jam dinding tepat di depannya. Sudah hampir jam sepuluh.

Beberapa menit yang lalu suaminya mengabarkan, kalau sedang dalam perjalanan membawa Hinra dan Handari menuju ke penginapan, sebelum nantinya mereka pulang kembali ke kota.

Almann berbalik dan kembali duduk di hadapan Saliha.

“Seenggaknya izinkan Abang bertemu Hinra untuk yang terakhir kalinya, untuk sekedar mengucapkan kata perpisahan,” suara Almann terdengar pilu. Terlihat lelehan air mata mulai merembes di kedua pipinya. Pertahanannya runtuh. Almann menangis.

“Abang tahu itu nggak mungkin. Kalau kami beri kesempatan itu, Hinra nggak akan mau ikut kami.”

“Tolong Liha....”

“Apa malam itu Abang memberi kesempatan pada kami untuk mengucapkan kata perpisahan? Nggak ada Bang! Abang pergi tiba-tiba tanpa pamit. Hanya meninggalkan secarik surat untuk Mama. Abang pergi di saat kami sedang berduka karena kepergian Kak Aily, di saat yang bersamaan kami juga harus kehilangan Hinra. Abang bahkan membawa Hinra pergi di saat jenazah Kak Aily belum sempat dimasukkan ke liang lahat.” Suara Saliha serak terdengar emosi.

“Abang minta maaf. Tapi tolong jangan pisahkan Abang dengan Hinra....”

“Abang seharusnya sadar diri. Abang bukan siapa-siapa, hanya orang yang kebetulan mengenal kami karena pernah bekerja bersama Kak Aily. Lupakan Hinra. Lupakan kalau kita pernah saling mengenal. Lanjutkan hidup Abang. Menikah... Punya anak... Jangan lagi ada sangkut paut dengan keluarga kami...”

Kata-kata dari mulut Saliha terdengar begitu kejam dan menyakitkan hati Almann. Mana mungkin semudah itu ia melupakan Hinra dan mengakhiri semuanya. Setelah semua pengorbanan dan rasa sakitnya selama ini. Hanya Hinra yang ia miliki sekarang.

Suara salam terdengar dari luar rumahnya. Almann berdiri dan melihat keluar. Dua orang berseragam Polisi datang. Almann menoleh ke arah Liha yang sedang duduk tanpa ekspresi.

“Apa betul ini rumah Saudara Almann?”

“Iya benar Pak. Saya sendiri.”

“Bisa ikut kami ke kantor polisi untuk dimintai keterangan terkait kasus penculikan atas nama Hinra?”

Almann terdiam tidak menjawab. Sampai hati Saliha melibatkan polisi untuk menangkapnya.

“Abang tetap harus bertanggung jawab,” suara Saliha terdengar pelan. Perlahan ia berdiri. “Tolong jangan di borgol Pak. Dia bukan orang jahat.”

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY