Sentuhan berubah liar. Remasan menggantikan kelembutan. Bisikan Sheana yang memintanya tenang, tenggelam oleh gejolak yang tak terbendung.
Pakaian mereka lepas satu per satu. Tak ada lagi jarak, hanya napas yang menyatu dan panas tubuh yang menyesakkan ruang.
"Shea..." bisik Ellan.
Panggilan itu nyaris seperti peringatan-tapi tak cukup kuat menghentikan amukan di dadanya. Tatapan mereka bersentuhan. Dalam mata Sheana ada getar-bukan penolakan, tapi ragu yang hanya Ellan bisa memahaminya.
Ia tak berhenti. Melangkah, melebur, memecah rindu, sepi, dan luka yang tak kunjung pulih.
"Aku kangen banget sama kamu, Shea..." desisnya.
Tubuh mereka menyatu, dalam gerakan yang menyakitkan sekaligus penuh gairah.
Mereka saling mencari, berganti posisi, berlayar dalam sunyi. Hingga akhirnya, dalam desakan terakhir, Ellan mencapai puncak. Ia tenggelam di pelukan Sheana, dengan wajah terkubur di leher wanita itu.
Saat menarik diri, matanya menangkap sesuatu di dada kiri Sheana. Sebuah tato kecil bertuliskan satu huruf.
"Ini... inisial namaku?" bisiknya, nyaris tak percaya.
Sheana tak menjawab. Tapi malam itu, waktu seolah berhenti di kamar yang hanya milik mereka.
Cinta mereka adalah luka.
Cinta mereka adalah kenangan.
Terlalu menyakitkan untuk diingat,
Tapi terlalu indah untuk dilupakan.
Meski jarak dan waktu telah memisahkan mereka selama bertahun-tahun.
***
Sheana bersandar di dada Ellan. Kulit mereka masih hangat, napas mulai tenang. Jari-jari Ellan menyusuri rambutnya pelan, seperti ingin merekam semuanya.
Ellan mencium ubun-ubunnya. "Aku masih ingat malam pertama kita ketemu," bisiknya nyaris tak terdengar.
Sheana tak menjawab. Tapi genggamannya pada tangan Ellan menguat-itu cukup sebagai jawaban.
"You looked so... out of place. Tapi entah kenapa, kamu juga jadi wanita paling cantik di ruangan itu."
Suara Ellan nyaris mengantuk, tapi ingatannya tajam.
"Waktu itu kamu ngeliat aku kayak orang asing yang nggak penting. But that night, something clicked."
"Stop," gumam Sheana dengan mata terpejam. "You're making it sound too romantic."
Ellan terkekeh pelan.
"Biarin. Karena emang itu yang aku rasa. You were chaos... Tapi tiap kali deket kamu, dunia aku malah lebih tenang. Kamu bikin hidup aku jungkir balik, tapi aku juga nggak mau semuanya kembali kayak dulu."
Sheana diam. Hening menggantung.
Tatapannya menyentuh langit-langit kamar yang remang, membangkitkan kenangan yang begitu jelas, begitu hidup.
Beberapa tahun yang lalu,
Ia berdiri di tepi lounge dengan segelas wine di tangan dan mini dress yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Memperlihatkan lekuk yang tak lagi muda, tapi justru menampilkan kedewasaan yang mahal.
"Lo cantik banget, sumpah," bisik Grace, menyilangkan kaki sambil menyesap cocktail. "Tapi auranya... depressing abis. Kayak lo baru ditinggal nikah."
Sheana menghela napas. "Lo tahu yang lebih parah?"
"Apa?"
"Gue bahkan belum sempet ditinggal. Gue masih dijadiin figuran di rumah sendiri."
Grace mendecak pelan. "Sheana... lo tuh smart, classy, desirable. Masalahnya bukan di lo, tapi di suami lo yang super membosankan itu."
"Boring, tapi masih jadi alasan Mama Dirga nelpon gue tiap hari," gumam Sheana. "Dan malam ini gue harus pulang cepet karena beliau mau nginap besok."
"Oh for f-" Grace menahan umpatan. "Forget Dirga. Malam ini, lo butuh... disruption. Dan-ah, perfect timing."
Sheana tidak menjawab. Tatapannya menelisik kerumunan, memperhatikan tawa berlebihan para wanita di antara rayuan palsu dari pria-pria muda yang menjual senyum seperti komoditas. Manis tapi tak sepenuhnya tulus. Semua terasa... kosong.
"Gue nggak yakin ini ide bagus," gumamnya, jari-jarinya menyentuh permukaan dingin gelas wine yang belum ia sentuh.
Grace mendesah, lalu menyandarkan tubuh. "Lo tuh terlalu kaku, Na. Bukan berarti lo harus tidur sama siapa pun. Kadang, lo Cuma butuh seseorang buat dengerin lo sambil nemenin minum. That's it."
"Dan cowok-cowok itu... dibayar buat pura-pura peduli?" sindir Sheana.
"Enggak semua pura-pura. Ada yang emang pinter bikin perempuan ngerasa hidup lagi." Grace melirik seseorang di kejauhan, lalu mengangkat tangan, memberi isyarat.
Sheana buru-buru menarik lengannya. "Grace, serius. Gue Cuma pengen duduk, minum, terus pulang."
"Terlambat." Grace terkekeh. "He's coming."
Dan di detik itulah, Sheana melihatnya. Seorang pria muda, berpakaian hitam kasual yang dipadu dengan jaket kulit dan sneakers putih bersih. Rambutnya sedikit messy, senyumnya terlalu percaya diri, tapi bukan tipe yang menyebalkan. Usianya mungkin dua puluh lima, atau lebih muda. Tapi caranya berjalan... tidak seperti anak-anak.
"Ellandra, ini Sheana. Temen gue," kata Grace cepat, sebelum berdiri. "She's a bit tense, so be nice."
"Always," sahut Ellan, suaranya dalam dan lembut. Matanya langsung menatap Sheana tanpa ragu. "Hi."
Sheana meneguk ludah. "Grace, gue-"
"Terserah lo mau ngobrol atau enggak. Tapi paling enggak, kasih kesempatan," ujar Grace sambil berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam jarak yang terlalu dekat untuk sebuah pertemuan pertama.
Sheana hendak protes, tapi Ellan sudah duduk di seberangnya. Menyilangkan kaki dan menyender santai, seperti ini bukan pertama kalinya ia duduk di hadapan wanita yang jauh lebih dewasa darinya.
"First time?" suaranya dalam, serak, dan... terlalu intim untuk orang yang baru dikenal.
Sheana mengangkat alis. "What makes you think so?"
"Karena Cuma orang yang pertama kali datang ke tempat ini yang kelihatan segugup kamu." Ia tersenyum, manis dan sedikit nakal. "Kecuali kamu memang suka berpura-pura nggak tahu cara bersenang-senang."
"Dan kamu senang menebak-nebak orang?"
"Kadang. Tapi lebih sering... nebaknya tepat."
"Sounds like a dangerous habit."
"Cuma kalau kamu takut ketahuan."
"Dan kamu pikir aku takut?"
Ellan tertawa singkat. "Grace bilang, kamu bukan tipe yang suka tempat berisik seperti ini," ucapnya. Suara itu berat, berlapis senyum tipis yang menyebalkan-tapi justru itu yang membuat siapapun sulit untuk berpaling darinya.
Sheana menoleh, menahan ekspresi. "Grace seharusnya juga bilang kalau aku sedang bosan."
Ellan tertawa pelan. "Bosan bisa sangat berbahaya kalau ditangani dengan cara yang salah."
Sheana memiringkan kepala. "Kamu kerja di sini?"
Ellan tertawa kecil. "Nggak. Tapi kadang aku disewa untuk menemani klien tertentu. Jadi, yeah... semacam freelance."
"Freelance," Sheana mencibir. "Gigolo, maksudnya?"
Ellan tersenyum, tidak tersinggung. "I prefer 'companion'. Tapi kalau itu adalah istilah yang nyaman kamu pake... gapapa."
"Dan kamu bisa 'dianggap nyata' dengan semua ini?" Sheana mengisyaratkan ke lounge.
"Kalo kamu yang nanya, yes. Karena dari tadi mata kamu nyari alasan buat pulang, tapi kakinya nggak gerak.
Sheana terkekeh pelan. "Pede banget."
"Nope. I'm full of curiosity. Tentang perempuan cantik yang duduk di sini dengan gaun mahal, tapi matanya... kosong."
Sheana diam.
Ellan melanjutkan, lebih lembut. "What broke you?"
Pertanyaan itu membuat dada Sheana sesak. Tapi juga terasa... seperti pelukan diam-diam.
"Kalo aku bilang... I forgot how to feel?" bisiknya.
Ellan menatapnya. Lama.
"Then let me remind you," katanya pelan.
Mata mereka bertaut. Untuk sesaat, waktu melambat.
Sebelum Sheana sempat menjawab, Grace muncul kembali dan menyelamatkan mereka dari kekhusyukan yang nyaris terlalu intim.
"I'll leave you two," katanya sambil mengedipkan mata. "Tapi inget ya, no touching. Karena gue nggak mau bayar lo dobel."
Sheana tertawa kecil.
Ellan hanya menyeringai. "Don't worry," katanya, masih menatap Sheana. "Gue nggak minta dibayar lebih kok. Tapi, if we ever meet again... I'd probably charge you interest."
Sheana mengernyit, tapi tersenyum.
"Kita nggak akan ketemu lagi."
"You sure?" bisik Ellan sambil merapikan rambutnya. "Jakarta itu kecil. Dan... takdir tuh selera humornya emang suka ngaco. Has a sick sense of humor, you know?"
Sheana tidak menjawab. Tapi di balik senyum tipisnya, ada rasa aneh yang belum bisa ia beri nama.
Ia tak tahu, dalam hitungan hari, mereka akan bertemu lagi. Lebih cepat dari yang mereka kira. Bukan sebagai dua orang asing, tapi sebagai bagian dari rahasia takdir yang sama sekali tak terduga.