Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Dosa Dalam Pelukan Brondong
Dosa Dalam Pelukan Brondong

Dosa Dalam Pelukan Brondong

5.0
5 Bab
4 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Sheana, 35 tahun. Cantik, elegan, istri sah dari seorang pengusaha kaya raya. Tapi hidupnya sunyi. Pernikahannya dingin. Suaminya nyaris tak pernah peduli. Sampai suatu malam, ia diajak ke klub malam oleh sahabatnya. Di sanalah ia bertemu Ellandra, 23 tahun-pria tampan, penggoda, dan jauh lebih muda. Bukan gigolo, tapi juga bukan pria biasa. Ellandra tahu caranya menyentuh hati wanita... termasuk hati Sheana. Awalnya hanya permainan. Tapi lama-lama, Sheana mulai mempertaruhkan segalanya. Termasuk pernikahannya. "Jangan ajari aku untuk berhenti mencintaimu, Shea. Karena sekali aku jatuh... aku nggak tahu cara mundur." "Terlambat, Ellan. Aku sudah terlalu dalam." Tapi cinta mereka bukan tanpa batas. Ada suami yang menyimpan rahasia besar. Ada pacar yang tak ingin ditinggalkan. Dan ada masa lalu yang bisa menghancurkan semuanya. Ini bukan tentang siapa yang lebih muda atau lebih tua. Tapi siapa yang paling mampu membuatmu merasa hidup.

Bab 1 Malam yang Mengubah Segalanya

Sheana berdiri di tepi lounge dengan segelas wine di tangan. Mini dress berwarna navy memeluk tubuhnya dengan anggun, membingkai lekuk-lekuk yang tak lagi muda, tapi justru menampilkan kedewasaan yang mahal.

Ia tidak menari, tidak juga berbicara. Hanya diam, menatap kerumunan dengan mata yang sayu, seperti seseorang yang lupa cara bersenang-senang.

"Gue senang lo mau ikut, Na. Udah lama lo nggak keluar." Grace menyentuh lengannya lembut, lalu menyesap cocktail-nya. "Lo butuh ini."

Sheana tersenyum tipis. "Dirga bahkan nggak tanya gue mau ke mana."

"Ya bagus dong, lo jadi bebas malam ini."

Malam itu, dia memang bebas. Tapi rasanya tetap... kosong. Hampa, seperti berdiri di tengah pesta tapi merasa asing bahkan pada dirinya sendiri.

Sheana menatap sekeliling lounge eksklusif itu, memerhatikan tawa berlebihan para wanita dan rayuan tipis para pria muda yang menggantung di udara, manis tapi tak sepenuhnya tulus.

"Gue nggak yakin ini ide bagus," gumamnya, jari-jarinya menyentuh permukaan dingin gelas wine yang belum ia sentuh.

Grace mendesah, lalu menyandarkan tubuh. "Lo tuh terlalu kaku, Na. Bukan berarti lo harus tidur sama siapa pun. Kadang, lo cuma butuh seseorang buat dengerin lo sambil nemenin minum. That's it."

"Dan cowok-cowok itu... dibayar buat pura-pura peduli?" sindir Sheana.

"Enggak semua pura-pura. Ada yang emang pinter bikin perempuan ngerasa hidup lagi." Grace melirik seseorang di kejauhan, lalu mengangkat tangan, memberi isyarat.

Sheana buru-buru menarik lengannya. "Grace, serius. Gue cuma pengen duduk, minum, terus pulang."

"Terlambat." Grace terkekeh. "He's coming."

Dan di detik itulah, Sheana melihatnya. Seorang pria muda, berpakaian hitam kasual yang dipadu dengan jaket kulit dan sneakers putih bersih. Rambutnya sedikit messy, senyumnya terlalu percaya diri, tapi bukan tipe yang menyebalkan. Dia berjalan ke arah mereka, membawa aroma mint dan parfum yang mahal.

"Ellandra, ini Sheana. Temen gue," kata Grace cepat, sebelum berdiri. "She's a bit tense, so be nice."

"Always," sahut Ellan, suaranya dalam dan lembut. Matanya langsung menatap Sheana tanpa ragu. "Hi."

Sheana meneguk ludah. "Grace, gue-"

"Terserah lo mau ngobrol atau enggak. Tapi paling enggak, give it a chance," ujar Grace sambil berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua dalam jarak yang terlalu dekat untuk sebuah pertemuan pertama.

Sheana hendak protes, tapi Ellan sudah duduk di seberangnya, menyilangkan kaki dan menyender santai, seperti ini bukan pertama kalinya ia duduk di hadapan wanita yang jauh lebih dewasa darinya.

"First time?" suaranya dalam, serak, dan... terlalu intim untuk orang yang baru dikenal.

Sheana mengangkat alis. "What makes you think so?"

"Karena cuma orang yang pertama kali datang ke tempat ini yang kelihatan segugup kamu." Ia tersenyum, manis dan sedikit nakal. "Kecuali kamu memang senang berpura-pura tidak tahu cara bersenang-senang."

"Dan kamu senang menebak-nebak orang?"

"Kadang. Tapi lebih sering... nebaknya tepat."

"Sounds like a dangerous habit."

"Only if you're afraid of being seen."

"Dan kamu pikir aku takut?"

Ellan tertawa singkat. "Grace bilang, kamu bukan tipe yang suka tempat berisik seperti ini," ucapnya. Suaranya berat, berlapis senyum tipis yang menyebalkan-dan justru membuatnya sulit berpaling.

Sheana menoleh, menahan senyum. "Grace seharusnya juga bilang kalau aku sedang bosan."

Ellandra-begitu dia memperkenalkan diri tadi-tertawa pelan. "Bosan bisa sangat berbahaya kalau ditangani dengan cara yang salah."

"Dan kamu menganggap diskotik ini tempat yang tepat?" balas Sheana, mencelupkan ujung lidahnya ke gelas, sekadar mencicip. "Kamu di sini cari kesenangan, atau korban?"

Ellan memiringkan kepala, lalu menatap Sheana dalam-dalam. "Aku di sini buat menemani. Hanya itu. Kesenangan bukan milikku... tapi milik mereka yang butuh dilihat."

Kalimatnya terdengar menggoda, tapi juga menyedihkan. Sheana mendesah. Lelaki muda ini... bukan sekadar tampan. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa lepas-liar, tapi juga kesepian.

"Lalu kenapa kamu natap aku kayak gitu?" bisik Sheana, sedikit mencondongkan badan. Ia bukan gadis muda yang mudah digoda. Tapi malam ini, ada sisi dalam dirinya yang ingin bermain sedikit.

Ellan tersenyum kecil, lalu melirik Sheana dari ujung rambut hingga garis rahangnya yang halus. "Karena kamu berbeda. Kamu tidak seperti mereka yang datang ke sini untuk merasa muda kembali. Kamu datang... seperti sedang mencari jawaban."

Sheana terdiam. Ia mengalihkan pandangan, menyapu keramaian di sekeliling mereka. Tapi yang terdengar hanyalah detak jantungnya sendiri.

Sial.

Pria ini baru berusia dua puluhan. Terlalu muda untuknya. Tapi dari sorot mata-cara bicara-membuat Sheana merasa seperti satu-satunya perempuan di dunia malam itu.

"Kalau aku sedang mencari jawaban..." katanya pelan, "apakah kamu akan jadi pertanyaannya?"

Ellan mendekat sedikit, kini nyaris berbisik di telinganya. "Bukan. Aku akan jadi alasan kamu berhenti bertanya."

Sheana meneguk wine-nya perlahan, tapi rasanya kalah panas dibanding tatapan Ellan yang menelanjangi pikirannya.

Ia menoleh. "Kamu selalu begini? Duduk dengan perempuan asing dan bicara seolah kamu tahu isi kepala mereka?"

Ellan mengangkat bahu, lalu bersandar santai di sofa merah beludru itu. "Nggak semua perempuan asing punya mata yang kelihatan capek tapi tetap tajam. You look like someone who's tired... but still refuses to give up."

Sheana mengerjapkan mata. Dia tidak tahu harus tersinggung atau tersentuh.

"Dan kamu kelihatan seperti orang yang terlalu sering pura-pura baik-baik aja," balasnya tajam.

Alih-alih tersinggung, Ellan justru tersenyum. "Touché."

Ia menyesap minumannya-whisky, tanpa es. Gerakannya tenang, tanpa sok jantan. Pria ini, pikir Sheana, tahu caranya mengontrol ruangan tanpa perlu bersuara keras.

Sheana memiringkan kepala. "Kamu kerja di sini?"

Ellan tertawa kecil. "Nggak. Tapi kadang aku disewa untuk menemani klien tertentu. Jadi, yeah... semacam freelance."

"Freelance?" Sheana mengangkat alis. "Maksud kamu... gigolo?"

Ellan menyilangkan kaki, menyandarkan sikunya di sandaran sofa, ekspresinya tak berubah. "I prefer 'companion'. Tapi kalau kamu mau bilang begitu, I won't deny it."

Bukannya mundur, Sheana malah semakin tertarik. Sialnya, Ellan justru tampak nyaman dengan kejujurannya. Dan itu... berbahaya.

"Kamu nggak takut dihakimi?" tanya Sheana pelan.

"Aku lebih takut nggak jujur sama diri sendiri. Aku tahu aku bukan orang baik. But I'm not pretending to be."

Sheana terkekeh, untuk pertama kalinya malam itu. "Kamu terlalu jujur untuk seseorang yang hidup dari ilusi."

Ellan ikut tersenyum. "Dan kamu terlalu tajam untuk seseorang yang terlihat begitu rapuh."

Sheana mendesah. "Aku nggak rapuh. Aku cuma... lelah."

Mereka saling memandang. Untuk sesaat, keramaian di sekitar mereka seperti menghilang.

Sheana tidak lagi berpikir tentang suaminya yang tak peduli, tentang kehidupan rumah tangga yang hambar, atau tentang betapa sepinya ia meski tidur di ranjang king size setiap malam. Yang ada hanya suara Ellan, dan tatapan mata itu-hangat, tenang, dan untuk sekali ini, terasa jujur.

Ellan mencondongkan badan sedikit. "Sheana..."

"Hm?"

"Kalau aku bukan siapa-siapa. Bukan siapa pun. Kamu masih mau duduk di sini dan ngobrol sama aku?"

Sheana menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum tipis. "Kalau aku harus jadi orang lain supaya bisa duduk di sini, aku nggak akan datang malam ini."

Mereka sama-sama tertawa pelan. Tanpa tahu kalau sesuatu yang besar menanti mereka di kemudian hari.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY