Zidane memicingkan mata. 'Habib?' Dia melirik ke belakang, memastikan nggak ada orang lain dalam apartemennya.
"Err... Wa'alaikumsalam?" jawab Zidane ragu.
Sebelum dia sempat bertanya siapa mereka, wanita berusia kira-kira 27 tahun, yang menemani lelaki itu langsung maju selangkah dengan mata berbinar-binar.
"Kami pasangan suami istri, sudah lama mencari Habib Zidane! Tolong doakan kami supaya segera dikaruniai anak," ucapnya dengan suara memelas namun terdengar lega.
Zidane nyaris tersedak ludahnya sendiri. "Doain punya... anak? Saya malah masih bujangan Bu, boro-boro bisa bikin anak!"
Lelaki di sampingnya mengangguk penuh hormat. "Iya kami tahu, Habib! Kami dengar Habib adalah keturunan mulia dari Yaman, doa Habib pasti makbul. Kami sangat ingin punya keturunan."
Zidane ternganga. Dari mana mereka dapet informasi sesesat dan seabsurd ini?
"Ehh... masuk dulu deh," ucap Zidane spontan. Dia masih bingung dan butuh waktu buat memahami apa yang terjadi.
Pasangan suami istri itu masuk dengan takzim, duduk di sofa dengan posisi super sopan, nyaris kayak duduk di hadapan ulama besar.
Zidane, yang masih pakai kaos oblong dan celana pendek, garuk-garuk kepala, penampilanannya jelas angat kontras dengan dua tamunya yang sangat syar'i. 'Kenapa rasanya ini lebih aneh dari mimpi gue semalam ya?' pikirnya.
"Eh... Bapak, Ibu... dari mana dapet info soal saya?" tanya Zidane sambil mencoba menetralkan situasi.
"Kenalkan dulu Habib, saya Sanusi dan ini istri saya Rokayah," balas Sanusi.
Rokayah tersenyum. "Kami mendengar dari Pak Yanto. Dia bilang ada seorang habib muda di sini, namanya Zidane Hazbullah, wajahnya bercahaya, nasabnya mulia."
Zidane hampir melempar gelas kopinya. Pak Yanto siapa lagi manusia sesat itu?
Namun sebelum Zidane bisa membantah, Sanusi menambahkan. "Kami sempat ragu, tapi setelah melihat langsung aura Habib Zidane, kami sangat yakin!"
Zidane menatap refleksi dirinya di layar hape. Wajah bangun tidurnya masih lecek, rambut berantakan, dan mata ngantuk. 'Aura dari mananya, Bung?' makinya dalam hati.
Rokayah tiba-tiba mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan meletakkannya di atas meja. "Ini sekadar sedekah dari kami, Habib. Tolong doakan, kami menikah sudah tujuh tahun tapi belum diberi keturunan."
Zidane makin kelabakan. Mau nolak, tapi pasangan itu sudah menangkupkan tangan seperti siap menerima doa dan memohon dengan sangat.
Akhirnya, dengan napas panjang, Zidane mengangkat tangan.
"Ya Allah, berkahilah pasangan Sanusi dan Rokayah, dengan rezeki melimpah dan keturunan soleh solehah. Aamiin."
"Aamiin!" Mereka berseru dengan penuh keharuan.
Selesai berdoa, Zidane berharap mereka bakal pamit. Tapi ternyata tidak.
Sanusi malah menggeser duduknya mendekati Zidane.
"Habib, kalau boleh tahu... apakah ada amalan khusus yang bisa kami lakukan? Mungkin wirid tertentu? Atau air doa?"
"Err... amalan ya?" Zidane berpikir keras. Gue aja kalau lagi suntuk cuma bisa ngopi sama rebahan, jarang amalan.
Karena nggak mau mengecewakan pasangan suami istri itu, Zidane akhirnya menjawab.
"Ehh... Perbanyak istighfar, sedekah pada fakir miskin, jangan tinggalkan shalat wajib juga tambah rajin sunahnya."
Rokayah langsung berseru, "Masya Allah, nasehat yang luar biasa!"
Sanusi mengangguk. "Benar-benar keturunan ulama besar!"
Zidane tersenyum kaku. 'Gue kapan jadi keturunan ulama? Yang ada bokap gua istrinya dimana-mana, padahal cuma tukang jualan minyak wangi.'
Baru aja Zidane mau cari alasan biar pasangan itu pulang, Rokayah membuka tasnya dan mengeluarkan sebotol air mineral.
"Habib, kalau tidak keberatan, bisa tiupkan doanya ke air ini?"
Zidane terdiam. Matanya berpindah dari botol air ke wajah pasangan suami istri absurd itu.
Di satu sisi, ini konyol banget. Di sisi lain, mereka beneran berharap.
Akhirnya, dengan sangat pelan, Zidane mengambil botol itu, membuka tutupnya, lalu mendekatkannya ke bibirnya lalu komat kamit. 'Ya Allah, semoga mereka cepat sadar kalau saya bukan habib. Manusia biasa keteruanan Arab Bogor, bukan dari Bahrain apalagi Yaman. Semoga yang memberi info hoax, mendapat ganjarannya, Amiin.'
Lalu dia meniup air mineral itu.
"Masya Allah! Terima kasih, Habib Zidane!" Rokayah berseri-seri.
Setelah itu, Sanusi dan Rokayah pamit, tinggallah Zidane dengan sejumlah uang di atas mejanya. Dia sudah meminta Rokayah untuk mengambil kembali uangnya, namun ditolaknya.
"Gila... pagi-pagi begini gue udah jadi dukun dadakan, gara-gara orang sebar hoax. Siapa Pak Yanto itu?"
Belum sempat menyesap kopi, HP-nya mendadak berdering kencang.
Di layar tertera nama: Delon.
"HEH, ARAB KATRO, LU DI MANA, JONO?"
Zidane langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Volume Delon kalau marah bisa ngalahin toa masjid waktu takbiran.
"Gue baru bangun, ada tamu penting," jawab Zidane sambil nyengir sendiri.
"Gue gak peduli lu didatengin jin Ifrit juga! Kita janjian jam tujuh, bukan jam tujuh lewat!" Delon makin ngomel.
"Siap komandan!"
Zidane dan Delon satu angkatan semester akhir, walaupun beda jurusan. Hubungan mereka udah kayak saudara kembar dempet yang baru dipisahkan ketika semester dua. Tapi beda keyakinan tak bisa memisahkan persahabatan mereka. Bagi Zidane dan Delon, Masjid atau Gereja, sama baiknya.
Secara fisik, Zidane yang Sunda-Arab berwajah tajam dengan brewok tipis dan sorot mata galak namun lembut. Sementara Delon yang Sunda-China, putih, mata sipit tapi nyablak, dan gaya anak sultan wannabe tapi humble. Kalau dua makhluk ini udah bareng? Ruwet tapi seru.
"On the way, Bos. Jangan meledak dulu. Gue siap jadi navigator hidup lu," kata Zidane akhirnya, sambil buru-buru ngabisin kopi dan lari ke kamar mandi.
Baru saja selesai mandi, handuk ngelendot di leher, belum sempat ngaca, tiba-tiba.
KRINGG!
Bel pintu apartemen bunyi lagi.
Zidane memicingkan mata ke arah pintu.
"Jangan-jangan... ah, fix. Ini pasti Tante Yola."
Tetangga satu lantai yang sudah seperti lambang 'cinta mamah muda kepada brondong sebelah'. Genitnya setengah dewa, manjanya kayak lem kertas tumpah, dan hobinya... ya gitu-gitu deh, ngajak Zidane benerin pipa bocor atau colokan listrik yang katanya suka bergetar kalau malam.
Dengan napas panjang dan mental siap tempur, Zidane buka pintu.
Benar saja.
Di balik pintu berdiri Tante Yola dengan daster semi transparan, lipstik merah cabe rawit, dan gaya miring 45 derajat yang terlalu niat untuk tetangga yang katanya cuma mau "minta tolong kecil."
"Hai, Zidane... Tante butuh bantuan niih," ujarnya sambil meletakkan tangan di dada, suara dalam mode manja maksimal.
Zidane meneguk ludah. Bukan karena tergoda, tapi karena dia tahu kalau dibiarkan, ending-nya bakal minum kopi mesra dan entah kenapa bisa berakhir beringat basah atas bawah dalam waktu 15 menit.
Tapi hari ini tidak. Hari ini dia punya alasan kuat.
"Aduh, Tante Yola, maaf banget ya... aku harus buru-buru ke rumah sakit hewan," kata Zidane dengan wajah penuh kepedihan pura-pura.
"Rumah sakit hewan?"
"Iya... kucing nenek aku keguguran, hamil dua bulan, harus masuk ICU. Ini gawat banget, Tante. Aku sedih banget, sumpah. Sampe gak bisa mikir."
Tante Yola tampak terkejut dan empati. Tapi tetap sambil ngelirik dada dan selangkangan Zidane yang Cuma pake boxer ketat.
"Ya ampun... kasian banget ya, kucingnya. Emang udah nikah sama siapa?"
Zidane hampir keselek. "Eh... dia hamil di luar nikah, Tante. Dunia hewan juga sekarang udah mulai rusak."
"Duh ya ampun. Nenek kamu pasti sedih..."
"Sangat. Bahkan beliau sempat ingin adopsi iguana supaya rumah lebih tenang."
"Oalah... ya udah deh, lain kali aja ya, Ziiiid..." Tante Yola mundur perlahan, tapi masih sempat melirik selangkangan Zidane sekali lagi sebelum pintu tertutup.
Zidane mengunci pintu secepat kilat dan bersandar sambil menepuk dada.
"Selamat, Zid. Lu baru saja lolos dari jebakan daster berlendir..."
Dan benar saja, belum lima menit, Delon sudah nelpon lagi dengan suara meledak-ledak.
Gak ada waktu untuk santai.
Zidane nyetir Avanza tua sewaan yang bunyinya lebih cocok jadi properti film zombie. Setiap kali dia injak rem, mobilnya ngeden dulu kayak lagi mikir: "Yakin nih berhenti?"
Jalanan pagi mulai padat. Sambil nyetir, Zidane ngoceh sendiri.
"Ya Allah... anak sultan minta dijemput pakai mobil begini, apa gak malu sama kerajaan Manchester?"
Setibanya di perempatan lampu merah, klakson mobil belakang bunyi kenceng.
"Woy Sendal Jepit! Jalan napa!"
Zidane panik. Dia injak gas, eh... pedalnya ngelos. Mobil malah ngadat. Klakson makin ramai, dia udah kayak aktor utama di sirkus mobil mogok. Akhirnya, dengan muka pasrah, dia keluar mobil, buka kap mesin, dan cuma bisa mangap liat isi mesinnya yang mirip spaghetti berdebu.
Pas lagi sok periksa, ada abang ojol nyamperin.
"Bang, itu mobil atau pembakaran sate? Bau gosong dari tadi tuh."
Zidane senyum kecut, "Mobil sultan... kalo udah pensiun."
Setelah berhasil menghidupkan mobil lagi dengan doa dan dorongan batin, Zidane akhirnya tiba di depan rumah mewah Delon - gerbangnya otomatis terbuka, disambut taman lebih luas dari lapangan voli kampus.
Delon keluar rumah pakai pakaian sederhan dan kacamata hitam yang lebih cocok buat pantai Ibiza.
Begitu melihat Avanza tua, dia langsung ngakak.
"Anjrit! Ini dia mobil legenda yang pernah nabrak tiang listrik, tapi tiangnya yang minta maaf!"
Zidane turun sambil garuk kepala.
"Lu yakin mau road trip ke kampung pakai beginian?"
Delon mengangguk puas. "Cabuuut buruan udah telat, Mang Jono!"
Barang-barang masuk ke bagasi, Delon duduk di kursi penumpang sambil buka cemilan kacang mete impor dari Singapura, lalu menyalakan musik dangdut koplo remix Latin.
Avanza tua itu pun akhirnya meluncur, dengan bunyi sasis kriuk-kriuk, ke arah kampung Cipejuh....
^*^
Buat yang suka kisah anak muda panas membara, silahkan baca, "KETAGIHAN MAMA TEMANKU" hanya di Bakisah. Ketik saja judul ceritanya.
^*^