Di mata sebagian orang, Arjuna yang sekarang adalah pria cacat, tak berguna, dan tak berdaya. Bisikan-bisikan sumbang itu sampai ke telinganya, menusuk ulu hati, merobek-robek harga dirinya. Namun, mereka lupa. Mereka lupa bahwa Arjuna Dirgantara bukan hanya sekadar sepasang kaki yang lumpuh. Dia adalah otak di balik kemajuan Dirgantara Group, seorang CEO yang disegani, bahkan ditakuti oleh lawan dan pesaingnya. Keputusannya selalu jitu, strateginya selalu tak terduga, dan pandangannya selalu jauh ke depan. Ia telah membangun kerajaan bisnisnya dengan keringat dan darah, menjadikannya salah satu konglomerat terbesar di Asia Tenggara.
Ruang kerjanya yang luas di puncak gedung Dirgantara Tower terasa begitu asing sekarang. Dulu, ia selalu melangkah masuk dengan penuh percaya diri, menyapa karyawan dengan senyum tipis namun penuh wibawa. Kini, ia harus didorong, atau lebih sering, menggerakkan sendiri rodanya, berusaha keras menjaga martabatnya di hadapan para staf yang menatapnya dengan campuran iba dan rasa ingin tahu.
"Selamat pagi, Pak Arjuna," sapa salah satu asistennya, Dewi, dengan nada yang terlalu lembut. Arjuna benci nada itu. Nada yang menyiratkan kasihan, seolah ia adalah anak kecil yang butuh diurus.
"Pagi, Dewi," jawabnya singkat, suaranya serak. Ia mencoba fokus pada tumpukan laporan di mejanya, berusaha membuktikan pada dirinya sendiri-dan pada dunia-bahwa kecacatan fisiknya tidak akan pernah melumpuhkan otaknya. Namun, konsentrasinya buyar. Wajah Kirana terus membayangi.
Kirana. Nama itu bagaikan luka menganga di dadanya. Wanita yang sudah dua tahun mengisi relung hatinya, wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya, kini telah pergi. Meninggalkannya di saat ia paling rapuh. Membatalkan pernikahan mereka hanya karena ia lumpuh. "Aku tidak bisa, Arjuna. Aku tidak siap punya suami yang... cacat," bisik Kirana kala itu, matanya dipenuhi ketakutan dan jijik. Kata-kata itu, lebih dari apapun, menghancurkan Arjuna. Ia bisa menerima kakinya lumpuh, tetapi hatinya? Hatinya hancur berkeping-keping.
Yang lebih parah, Kirana tidak hanya pergi. Ia menikahi adiknya sendiri, Bima. Bima, adiknya yang selalu ia lindungi, selalu ia ajari, selalu ia berikan kesempatan. Rasa pengkhianatan itu membakar jiwanya. Bagaimana bisa Kirana melakukan itu? Bagaimana bisa Bima melakukan itu? Apakah ini semua sudah direncanakan? Apakah mereka menunggu saat Arjuna jatuh, untuk kemudian merebut segalanya?
Kenyataan ini membuat Arjuna semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia yang dulunya penuh semangat, kini seringkali terjebak dalam pusaran pikiran gelap. Terapi fisik yang seharusnya membangkitkan harapannya, justru terasa seperti beban berat. Setiap gerakan, setiap tetesan keringat, setiap rasa sakit yang menjalar di kakinya, hanya mengingatkannya pada betapa jauhnya ia dari kehidupan normal. Dokter selalu mengatakan ada harapan, bahwa otot-ototnya bisa pulih, bahwa ia mungkin bisa berjalan lagi. Namun, pesimisme telah meracuni pikirannya. Ia merasa tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu. Kakinya tidak akan pernah bisa melangkah tegap lagi, dan hatinya tidak akan pernah bisa sembuh dari pengkhianatan.
Sementara Arjuna terpuruk dalam kesendiriannya, badai lain tengah bergolak di dalam keluarga Dirgantara. Perebutan kekuasaan. Dengan lumpuhnya Arjuna, kursi CEO tiba-tiba menjadi objek incaran. Dua adiknya, Bima dan Indra, secara terbuka memperebutkan posisi tersebut.
Bima, yang selama ini selalu hidup di bawah bayang-bayang Arjuna, merasa inilah saatnya ia bersinar. Ia adalah pria yang ambisius, tetapi ambisinya seringkali melampaui kemampuannya. Ia selalu ingin setara dengan Arjuna, namun tak pernah bisa. Kini, dengan Kirana di sisinya, ia merasa memiliki kekuatan ganda. "Aku yang akan memimpin perusahaan ini, Indra. Kak Arjuna sudah tidak sanggup lagi," ujarnya suatu sore dalam pertemuan keluarga yang tegang, tatapan matanya penuh keserakahan.
Indra, adik bungsu mereka, jauh lebih kalem daripada Bima. Ia tidak seambisius Bima, tetapi juga memiliki keinginan untuk membuktikan dirinya. Indra adalah seorang sarjana teknik yang brilian, tetapi ia kurang memiliki pengalaman manajerial di tingkat puncak. Ia merasa khawatir jika perusahaan jatuh ke tangan Bima yang terlalu gegabah. "Bima, kau tahu kau belum siap. Dirgantara Group bukan main-mainan. Ini warisan ayah dan ibu kita," balas Indra, mencoba menenangkan kakaknya yang sedang panas.
Pertengkaran mereka seringkali pecah di ruang makan keluarga, di hadapan Dewi, ibu mereka. Dewi, seorang wanita paruh baya yang elegan dan anggun, kini terlihat lebih tua dari usianya. Kerutan halus menghiasi wajahnya, bukan karena usia, melainkan karena beban pikiran. Hatinya hancur melihat ketiga putranya saling bermusuhan. Arjuna yang terpuruk, dan Bima serta Indra yang saling berebut kekuasaan.
"Cukup! Hentikan ini!" teriak Dewi suatu malam, air mata mengalir di pipinya. "Kalian berdua tidak tahu malu! Kakak kalian sedang berjuang untuk hidupnya, dan kalian malah memperebutkan harta?!"
Namun, teguran Dewi tak banyak berarti. Bima dan Indra terlalu dibutakan oleh ambisi. Mereka seringkali mengadakan rapat internal sendiri, membentuk kubu-kubu di antara para direktur perusahaan, berusaha menarik dukungan. Keadaan perusahaan pun menjadi tidak stabil. Proyek-proyek besar tersendat, investor mulai ragu, dan rumor tentang ketidakstabilan manajemen Dirgantara Group mulai menyebar di kalangan bisnis.
Arjuna, meskipun terkurung di kamar, tidak sepenuhnya buta. Ia mendengar desas-desus, ia merasakan ketegangan yang menyelimuti rumah. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Hatinya perih, tetapi ia terlalu lemah untuk berbuat banyak. Terkadang, ia hanya menatap kosong ke luar jendela, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu, saat keluarganya masih utuh, saat ia masih bisa berdiri tegak, saat Kirana masih mencintainya.
Melihat putra kesayangannya terpuruk begitu dalam, Dewi tak kuasa menahan kesedihan. Arjuna, putra sulungnya, adalah kebanggaan keluarga. Ia tidak bisa membiarkan Arjuna terus-menerus tenggelam dalam kegelapan. Dewi tahu, Arjuna membutuhkan sesuatu, seseorang, yang bisa menariknya keluar dari jurang keputusasaan ini. Sesuatu yang berbeda dari dunianya yang selama ini hanya berkutat pada angka, saham, dan keuntungan.
Setelah berpikir panjang, Dewi teringat sahabat lamanya, Ibu Indah, yang memiliki panti asuhan di pinggiran kota. Ibu Indah sering bercerita tentang anak-anak asuhnya yang unik dan beragam. Salah satu dari mereka menarik perhatian Dewi. Seorang gadis muda yang dijuluki "barbar" oleh Ibu Indah, namun dengan nada sayang. Dewi tahu, mungkin inilah jawabannya.
"Arjuna, Ibu ingin kau bertemu seseorang," kata Dewi suatu pagi, saat ia membawakan sarapan ke kamar putranya.
Arjuna hanya mendengus, "Siapa lagi, Bu? Teman-teman Ibu yang ingin mencari keuntungan dari kelemahan saya?"
Dewi menghela napas, "Bukan, Nak. Dia berbeda. Dia adalah anak asuh Ibu Indah. Namanya Mentari."
Arjuna menatap ibunya dengan tatapan curiga. "Mentari? Apa yang Ibu rencanakan?"
"Ibu hanya ingin kau bahagia, Nak," jawab Dewi tulus. "Setidaknya, cobalah. Ibu merasa dia bisa memberikan perspektif baru untukmu."
Awalnya Arjuna menolak mentah-mentah. Ia tidak ingin bertemu siapapun. Ia tidak ingin belas kasihan. Ia hanya ingin sendiri. Namun, Dewi tidak menyerah. Setiap hari, ia membujuk, memohon, dan akhirnya, Arjuna yang lelah dengan perdebatan, menyerah.
"Baiklah, Bu. Tapi jangan harap saya akan menyukainya," ucapnya dengan nada pahit.
Dewi tersenyum tipis. Ia tahu ini bukan tugas yang mudah, tetapi setidaknya, ada harapan.
Keesokan harinya, dengan segala persiapan, Arjuna diantar ke panti asuhan Ibu Indah. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Lingkungan panti asuhan jauh dari kemewahan yang biasa Arjuna nikmati. Bangunan sederhana, pekarangan yang rimbun namun kurang terawat, dan suara riuh anak-anak yang bermain. Ini adalah dunia yang sangat asing baginya.
Ia duduk di kursi rodanya, di ruang tamu panti yang sederhana, sementara Dewi berbicara dengan Ibu Indah. Tak lama kemudian, Ibu Indah memperkenalkan seorang gadis.
"Ini dia, Nak. Namanya Mentari," ujar Ibu Indah dengan senyum hangat.
Arjuna mendongak. Di hadapannya berdiri seorang wanita muda. Penampilannya... jauh dari bayangan wanita metropolitan yang biasa ia temui. Rambutnya diikat asal, ada noda cat di kemejanya yang agak lusuh, dan kakinya mengenakan sandal jepit. Ia tidak terlihat seperti wanita yang peduli dengan penampilan, apalagi status sosial. Mata Arjuna menyusuri penampilannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia mencibir dalam hati. Barbar, memang.
Mentari hanya tersenyum lebar, menunjukkan gigi-gigi putihnya. Ia tidak terlihat canggung atau terintimidasi oleh tatapan sinis Arjuna.
"Hai!" sapanya ceria, suaranya agak serak. "Namaku Mentari. Kamu Arjuna, kan? Yang CEO itu?"
Arjuna mengerutkan kening. Nada bicara Mentari terlalu santai, terlalu informal. Tidak ada sedikitpun rasa hormat yang biasa ia dapatkan dari orang lain.
"Ya, aku Arjuna," jawabnya datar.
Mentari tidak peduli dengan nada dingin Arjuna. Ia langsung duduk di kursi di hadapan Arjuna, dengan santai menyilangkan kaki. "Wah, keren ya jadi CEO. Banyak duitnya, dong?" tanyanya lugu, matanya berbinar.
Arjuna terdiam. Pertanyaan seperti itu tidak pernah ia dengar dari siapapun. Semua orang selalu membicarakan tentang strategi bisnis, saham, atau proyek baru. Tidak ada yang pernah bertanya langsung tentang uang. Kecuali Mentari. Mata duitan, sepertinya. Pikir Arjuna, semakin yakin dengan penilaian awalnya.
"Untuk apa kau bertanya begitu?" tanya Arjuna, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Ya, biar tahu saja. Kalau banyak, mungkin aku bisa minta modal untuk usaha jahitku," jawab Mentari enteng, sambil tertawa kecil.
Arjuna menatapnya lurus-lurus. Wanita ini benar-benar unik. Tidak ada basa-basi, tidak ada kepura-puraan. Ia begitu jujur, bahkan terlalu jujur.
Percakapan awal mereka tidaklah mulus. Arjuna selalu menjawab singkat dan dingin, sementara Mentari terus-menerus bertanya dengan rasa ingin tahu yang tak ada habisnya. Ia bertanya tentang bisnis Arjuna, tentang kehidupannya, bahkan tentang perasaannya. Hal-hal yang selama ini Arjuna simpan rapat-rapat, tiba-tiba dipertanyakan dengan polos oleh Mentari.
"Kenapa kamu murung terus? Padahal kamu punya banyak uang," tanya Mentari suatu ketika, membuat Arjuna geram.
"Apa urusannya denganmu?" Arjuna membentak.
Mentari tidak gentar. "Ya urusan dong! Kalau kamu murung terus, nanti energi negatifnya nular ke aku. Kan aku mau usaha jahit, butuh energi positif biar lancar jaya," jawabnya sambil cemberut.
Meskipun terasa menjengkelkan, ada sesuatu yang berbeda dari Mentari. Ia tidak melihat Arjuna sebagai pria cacat. Ia melihat Arjuna sebagai manusia biasa, yang kebetulan sedang murung. Ia tidak peduli dengan kursi roda Arjuna, atau dengan kekayaannya, atau dengan status sosialnya. Ia hanya peduli dengan apa yang ia rasakan dan apa yang ia inginkan.
Dewi dan Ibu Indah hanya tersenyum melihat interaksi mereka. Mereka tahu, ini adalah awal yang sulit, tetapi mereka juga melihat percikan kecil yang belum pernah ada sebelumnya dalam diri Arjuna.
Seiring berjalannya waktu, pertemuan mereka menjadi lebih sering. Arjuna memang tidak pernah meminta, tetapi Dewi selalu mengatur jadwalnya. Mentari datang ke rumah Arjuna. Ia tidak pernah canggung, bahkan seringkali membuat kegaduhan.
Suatu hari, Mentari melihat Arjuna kesulitan mengambil buku di rak atas. Sebelum Arjuna sempat meminta bantuan, Mentari sudah melompat, meraih buku itu, dan memberikannya pada Arjuna.
"Jangan sungkan, kalau butuh bantuan bilang saja. Kita kan manusia, saling bantu," katanya dengan senyum tulus.
Perlahan tapi pasti, Mentari mulai masuk ke dalam kehidupan Arjuna. Ia sering membawakan masakan rumah buatannya sendiri, yang rasanya jauh lebih nikmat daripada masakan koki pribadi Arjuna. Ia bercerita tentang kehidupannya di panti, tentang anak-anak asuh, tentang impiannya untuk membuka toko jahit sendiri. Ia bercerita tentang betapa ia menyukai uang, namun dengan cara yang jujur dan apa adanya, bukan dengan cara serakah.
Arjuna, yang awalnya enggan, mulai mendengarkan. Ia mulai menyadari bahwa di balik sifat "barbar" dan "mata duitan" Mentari, ada hati yang tulus, penyayang, dan penuh semangat. Mentari selalu positif, selalu melihat sisi baik dari segala sesuatu, bahkan dalam kesulitan. Ia tidak pernah mengeluh, tidak pernah menyerah. Ia adalah antitesis dari dirinya yang kini tenggelam dalam keputusasaan.
Suatu sore, saat Mentari sedang menjahit di sudut ruangan Arjuna, ia berbicara. "Tahu nggak, Pak Arjuna? Setiap jahitan itu kayak kehidupan. Kadang benangnya kusut, kadang jarumnya patah. Tapi kalau kita sabar, telaten, dan terus berusaha, pasti jadi baju yang bagus. Sama kayak hidup. Jangan nyerah kalau ada benang kusut."
Kata-kata Mentari, yang terdengar sederhana, justru menusuk ke dalam hati Arjuna. Ia menatap Mentari, yang tampak begitu fokus dengan jahitan tangannya. Wanita ini, dengan segala kesederhanaannya, memiliki kebijaksanaan yang tak pernah ia temukan di antara para eksekutif dan pebisnis ulung.
Arjuna mulai merasa sedikit, hanya sedikit, cahaya di tengah kegelapannya. Ia mulai melihat dunia dari sudut pandang Mentari. Dunia yang mungkin tidak sempurna, namun penuh dengan kesempatan dan kebaikan. Ia mulai menyadari bahwa ia terlalu fokus pada apa yang hilang, sampai melupakan apa yang masih ia miliki. Kaki-kakinya mungkin lumpuh, tetapi pikirannya masih tajam, hatinya masih berdetak, dan ia masih memiliki orang-orang yang peduli padanya.
Namun, jalan menuju pemulihan masih panjang. Trauma pengkhianatan Kirana dan Bima masih menghantui. Perebutan kekuasaan di perusahaan masih menjadi ancaman. Dan yang paling penting, pertanyaan besar yang selalu menghantuinya: apakah ia akan pernah bisa berjalan normal lagi? Apakah ia akan bisa bangkit dan kembali merebut takhtanya?
Untuk saat ini, kehadiran Mentari adalah secercah harapan. Seorang wanita "barbar" yang entah bagaimana, mulai memperbaiki serpihan hati sang CEO yang hancur. Namun, apakah cahaya kecil ini cukup untuk menerangi seluruh kegelapan yang meliputi kehidupan Arjuna? Babak baru dalam hidup Arjuna baru saja dimulai, sebuah perjalanan yang penuh tantangan, pengorbanan, dan mungkin, sebuah cinta yang tak terduga.