Aluna mengangguk. "Iya, aku ambil. Semoga papamu cepat sembuh, ya."
Clara memeluknya sekilas. "Thanks, Alu. Kamu memang malaikat."
Kalau saja Clara tahu, bahwa malaikat pun bisa jatuh di tempat seperti ini.
Begitu Clara menghilang ke arah ruang ganti, Aluna kembali ke meja resepsionis, mengecek ulang sistem reservasi. Semuanya tampak normal. Tapi jantungnya sedikit berdegup ketika notifikasi merah muncul mendadak di layar monitor utama.
Reservasi mendadak - Presidential Suite (Lantai 20)
Check-in: Malam ini. Nama: D.E.R.
Aluna menatap layar, tak yakin. Presidential Suite hanya bisa diakses oleh tamu VIP terpilih, dan biasanya dipesan jauh-jauh hari, bukan sepuluh menit sebelum tengah malam. Tapi sistem mengonfirmasi pembayaran penuh, tanpa deposit.
Lambat laun, suara langkah mendekat. Seorang pria berpakaian jas hitam masuk ke lobi dengan payung terlipat, air menetes dari ujung-ujung jas hujannya. Pria itu tidak membawa koper, hanya koper kecil kulit hitam yang tampak mahal.
Dia berdiri di hadapan meja.
"Aluna Rayendra?" tanyanya dengan suara rendah, tajam.
Aluna mengerutkan dahi, bingung. "Iya. Bisa saya bantu?"
Pria itu meletakkan kartu ID khusus - bukan KTP biasa, tapi ID khusus karyawan jaringan Elvard Group. Di bawah logo kecil berbentuk elang perak, tertulis nama:
Rizal Mahesa – Operatif Lapangan
"Suite untuk Tuan Renata. Kami tidak butuh formalitas. Buka akses lantai 20 sekarang."
Aluna menelan ludah. "Saya perlu ID tamu, Pak. Dan tanda tangan check-in."
Rizal mengangkat alis. "Saya rasa Anda belum dapat instruksi dari atasan Anda. Cek email bagian manajemen."
Dengan tangan bergetar, Aluna mengeklik folder email pribadi hotel. Sebuah pesan dari GM Hotel Aurelia, dikirim lima menit lalu:
> "Beri akses penuh pada Mr. Davin Elvard Renata ke Presidential Suite.
Jangan tanya, jangan minta data tambahan. Jangan bicara padanya kecuali diminta.
Abaikan semua prosedur biasa. Ini bukan negosiasi."
Aluna menegang. Nama itu.
Davin Elvard Renata.
Sosok yang selama ini hanya dia kenal dari berita, desas-desus, dan gosip kalangan elite. Pemilik perusahaan ekspor-impor berskala global yang digosipkan memiliki jaringan perdagangan gelap lintas benua. Semua mengenalnya. Tidak ada yang berani menyentuhnya.
Dan kini... dia akan berada hanya beberapa lantai di atas tempat Aluna berdiri.
Dengan suara hampir bergetar, Aluna menyerahkan keycard yang sudah dikonfigurasi khusus. "Kamar siap. Jika Bapak Renata membutuhkan sesuatu, mohon beri tahu kami lewat sistem khusus di kamar..."
Pria itu mengangguk singkat, lalu berbalik. Tapi saat dia hampir menghilang ke lift, ia menoleh sesaat. "Ingat, nona Aluna. Jangan terlalu ingin tahu."
Aluna hanya mengangguk.
Begitu pria itu masuk lift dan pintu menutup, suasana lobi kembali sunyi. Tapi jantung Aluna masih berdetak keras. Belum pernah ia merasa secemas ini. Bahkan saat mengetahui adiknya divonis gagal ginjal pun, rasa takutnya tak seberat sekarang.
Ia menarik napas panjang, lalu kembali ke monitor.
Semuanya tampak tenang, kecuali satu hal.
Kamera lantai 20 - OFFLINE.
Aluna mencoba mengakses ulang. Gagal. Sistem menunjukkan sinyalnya diputus dari sumber. Aneh, karena bahkan tim keamanan hotel tidak bisa mematikan kamera tanpa perintah pusat. Dan saat ia ingin melapor ke manajemen, muncul notifikasi:
> "Gangguan sistem sementara. Abaikan sinyal kamera 20. Perintah langsung dari pusat Elvard Group."
Aluna bersandar di kursinya. Rasanya seperti duduk di antara jalur api. Ia tak tahu kenapa pria seperti itu harus menginap di hotel mereka, apalagi tanpa pengamanan seperti biasa. Tapi dia tahu satu hal:
Malam ini bukan malam biasa.
---
Pukul 03.17 dini hari.
Aluna nyaris tertidur saat suara notifikasi keras membuatnya terjaga.
"ALERT - SISTEM ERROR - FILE VIDEO LANTAI 20 TERUNGKAP"
Ia menatap layar dengan panik. Video berdurasi 17 detik dari koridor depan Presidential Suite tiba-tiba muncul di server umum hotel. Aluna segera memutar rekaman itu.
Tampak seorang pria keluar dari suite. Wajahnya penuh darah. Jalannya tertatih. Tapi bukan Davin. Pria itu lebih tua, berbaju safari krem yang robek di bagian dada.
Tiba-tiba video berhenti.
"Kenapa bisa bocor?" bisik Aluna, panik. Ia mengecek log sistem.
File dibuka oleh akun: ALUNA.RAYENDRA
Dia membeku. "Tidak mungkin... aku tidak pernah...!"
Dia mencoba keluar, tapi sistem menolak akses. Semua log memperlihatkan jam dan waktu yang menunjukkan bahwa sekitar pukul 02.53, akun miliknya digunakan untuk mengunduh video itu.
Panik, Aluna menghubungi petugas teknis malam. Tidak ada jawaban.
Ia hendak menelepon manajer, ketika suara berat muncul di belakangnya.
"Sudah terlambat, nona Rayendra."
Ia berbalik. Davin Elvard Renata berdiri di sana.
Tanpa pengawal. Tanpa jas. Hanya mengenakan kaus hitam dan celana panjang. Tapi aura yang mengelilinginya sangat kuat. Matanya gelap. Tatapannya dingin.
"Bapak... Renata..."
"Jangan bicara." Suaranya serak, namun tegas. "Ikut saya."
Aluna ingin membantah, tapi seluruh tubuhnya seolah membeku. Ia mengikuti pria itu ke lift, turun ke basement. Di sana, satu mobil hitam sudah menunggu, dengan mesin menyala.
"Masuk."
"Ma-maaf... saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak pernah menyebarkan video itu. Saya bahkan-"
"Masuk." Nada suaranya cukup untuk menghentikan semua penjelasan.
Di dalam mobil, keheningan menegangkan memenuhi kabin. Aluna menatap kaca, mencoba menahan air mata. Ia merasa tubuhnya digiring ke lubang hitam yang tak ia pahami. Hanya karena sistem menyalahgunakan akunnya-mengapa harus dia yang dibawa?
Mobil melaju, melewati batas kota, menuju wilayah yang asing baginya. Setelah tiga puluh menit perjalanan, mereka tiba di sebuah rumah megah bergaya Eropa modern, dikelilingi pagar tinggi dan kamera pengawas.
Pintu terbuka. Davin keluar lebih dulu. Tanpa memandang, ia memerintahkan, "Turun. Mulai hari ini, kamu tinggal di sini."
Aluna menatapnya, kaget. "Tinggal? Tidak! Saya harus kembali. Saya tidak melakukan apa-apa. Saya tidak-"
"Benar atau tidak, sudah tidak penting. Fakta bahwa kamu dihubungkan dengan video itu cukup membuatku tidak bisa diam."
Aluna mulai menangis. "Tolong... saya punya adik yang sakit. Saya tidak bisa menghilang begitu saja. Ini tidak adil..."
Davin mendekat. Tangannya mengangkat dagu Aluna agar menatap langsung ke matanya.
"Aku tidak pernah bilang hidup itu adil. Tapi aku punya kekuasaan. Dan kamu... kamu menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya disentuh. Jadi terima saja hukumanmu."