Dalam sekejap pergerakan Yadi yang tak bisa kuprediksi malah membawa bibir kami menyatu. Aku terkesiap, tapi malah terdiam mematung. Bisa kusesap manis yang rasanya jauh berbeda dari gula-gula kapas ataupun lollipop kesukaanku.
Aku bahkan belum bisa menerjemahkan apa pun saat Yadi melepas dan memundurkan kembali wajahnya. Kupandangi setiap gerakan yang dilakukannya, walau itu sekadar kedipan mata hingga seulas senyum yang terbit di bibir tipisnya.
Tangan Yadi bergerak mengarah pada pipi, mengusap lembut kemudian beralih menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Sesaat, sentuhannya yang teramat hati-hati bisa meredakan kembali rasa keterkejutanku. Rasanya, otakku sama sekali tak bisa menangkap sinyal bahaya dari sepasang mata dengan tatap teduh itu.
Berulang gerak tangannya membelai hingga kemudian turun ke leher. Meski sedikit geli, aku mulai merasakan perasaan nyaman. Perlahan aku merasa lemas, mungkin lebih tepatnya pasrah saat sebuah tuntutan gila yang terbesit di kepala menginginkan mengulang hal sebelumnya.
Kali ini, dengan sedikit berjinjit aku berusaha mencapai bibirnya lagi. Seakan paham, pria di depanku turut membungkuk membantuku memutus jarak yang tersisa di antara kami. Bisa kurasakan deru napasnya yang semakin hangat dan memburu saat aku mulai membalas lumatannya.
Gelenyar-gelenyar aneh yang begitu asing, tapi mampu membuatku merasa seperti terbang. Terlebih saat tangan Yadi yang mulai menyusup ke dalam pakaian menggantikan bra dan meremas pelan buah dadaku.
Aku merasa hilang kendali atas tubuhku sendiri. Semuanya benar-benar di luar pemahamanku. Aku telah kehilangan akal sehat dan mulai merasa gila saat ingin menerjemahkannya dalam kata.