Unduh Aplikasi panas
Beranda / Miliarder / Dirka & Viona
Dirka & Viona

Dirka & Viona

5.0
18 Bab
610 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Dirka hidup keluarga, apa yang tidak ada sekarang tanpa harta yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Bertahun-tahun dia hidup dan tumbuh dengan beberapa pelayannya, yang sangat setia kepadanya. Namun, bagi mereka semua sama seperti keluarganya, dan ia merasa cukup dengan hal itu. Walau ada rasa cemas diantara semua pelayannya yang sangat khawatir jika Dirka tidak memiliki keturunan yang menghargai semua asetnya. Disaat Dirka pergi kesuatu tempat, yang dulu sering dia kunjungi bersama kedua orang tuanya. sebuah tempat penuh kenangan yang tidak mungkin dialaminya lagi. Namun, siapa sangka. Sesampainya di sana dirinya bertemu dengan seseorang yang ingin melakukan nekat. Dirka tidak mengira jika orang itu ternyata seorang gadis. Namun, pertemuannya dengan gadis ini, mengingatkannya pada masalalu kelam yang pernah ia alami. Dirka mencoba berbicara, tapi gadis itu hanya diam. Merasa tidak mungkin meninggalnya sendiri. Dirka pun langsung membawakan gadis itu.

Bab 1 01 - Dirka dan Gosip

Dirka Heka, dia adalah anak laki-laki satu-satunya dari pasangan Darwis Heka dan Marika Heka.

Heka adalah nama yang diwariskan dari nama keluarga ayahnya. Kalangan pengusaha dan pebisnis besar lebih mengenal mereka sebagai Heka Group.

Dirka pernah bertanya pada ayahnya. Apa sebenarnya arti dari nama Heka. Ayahnya hanya memberitahunya, bahwa nama Heka diambil bahasa yunani 'Hekate'.

Waktu itu ia masih kecil dan belum tahu apa-apa mengenai apa itu Yunani. Ayahnya juga memberi tahu apa maksud dan arti dari nama itu. Hekate adalah sebuah mitologi yang mengait dalam beberapa hal yang bisa disimpulkan sebagai awal dan pengetahuan. Dirka masih tidak paham dengan maksudnya, dan apa kaitannya dengan keluarganya.

Namun, Dirka yang masih anak-anak sama sekali tidak terlalu memperdulikannya, dan lebih tertarik dengan bermain.

Dirka bisa dibilang anak yang sangat dimanja oleh kedua orang tuanya. Tidak ada kata tidak saat dirinya meminta sesuatu, orang tuanya pasti menurutinya. Tapi, selama itu masih normal untuk anak seumurannya.

Dirka bisa dibilang anak yang sangat beruntung karena lahir di keluarga ini. Hidupnya sangatlah bahagia, tidak hanya sangat disayang dan dimanja, dia juga hidup dalam kemewahan yang tidak semua orang bisa seperti dirinya.

Tetapi kebahagiaan yang dirasakannya, sirna, saat kedua orang tuanya mengalami sebuah insiden yang mengakibatkan mereka meninggal dunia.

Waktu masih berumur sembilan tahun ini lah pertama kalinya dia mengalami kesedihan dan merasakan kehilangan.

Tidak ada yang bisa diperbuat. Dia hanya bisa menangis, berteriak-teriak memanggil-manggil kedua orang tuanya di depan makam mereka.

Sejak saat itu, Dirka mulai diasuh oleh kakek dan neneknya. Saat tinggal bersama mereka, Dirka selalu diajari bagaimana menjalankan sebuah bisnis sejak kecil, dia juga diajarkan beladiri dan bagaimana menggunakan senjata.

Dirka tidak tahu mengapa dia harus mempelajari semua itu.

Dirka juga diperkenalkan mengenai semua aset-aset peninggalan kedua orang tuanya. Dirka selalu berusaha keras untuk belajar. Itu dilakukannya demi menjaga apa yang diwariskan kedua orang tuanya.

Walaupun dia mendapatkan pendidikan yang bisa dibilang jauh lebih banyak untuk anak seusianya. Dia juga masih merasa bahagia, karena kakek dan neneknya selalu memberinya kasih sayang dan perhatian padanya.

Tetapi, beberapa tahun berlalu. Dan hal itu tidak pernah terjadi lagi. Kakek dan Neneknya meninggal akibat sebuah kecelakaan. Itu terjadi 10 tahun setelah kedua orang tuanya meninggal. Dirka merasa waktu 10 tahun yang dia lalui bersama kakek dan neneknya hanya terasa sangat sebentar baginya.

Sekali lagi … dia harus merasakan kehilangan untuk kedua kalinya, karena ditinggalkan oleh kakek dan neneknya.

Dirka tidak memiliki siapapun lagi yang bisa disebutnya keluarga. Dirka sekarang hidup tanpa keluarga kandung, atau kerabat satupun.

Dia sangat depresi, sejak saat itu.

"Haaaa!" Dirka berteriak merusak semua benda-benda yang ada di hadapannya.

Dirka merasa semua kemilau dunia yang dimilikinya ini hanya ilusi untuknya. Keterpurukan karena tidak memiliki siapapun lagi, membuatnya sadar. Dia tidak perlu semua harta ini.

Harta yang bahkan tidak bisa digunakan untuk menghidupkan kembali keluarganya.

Dirka yang sangat depresi saat itu, merasa hidupnya sangatlah kosong dan tidak berpihak padanya. Di dalam tekanan itu ia berpikir untuk mengambil jalan pintas. Dirka mencoba untuk mengakhiri hidupnya, dengan menyuntikkan bisa beracun langsung ke tubuhnya.

Beruntung ada dua pelayan yang menyadari hal itu, dan nyawanya pun berhasil terselamatkan.

★★★

3 tahun berlalu sejak kejadian itu.

Di sebuah lapangan yang menyerupai lapangan baseball terlihat Dirka dan pria paruh baya, berdiri menghadap ke arah yang sama.

Dirka sekarang terlihat sedang memegang pistol sambil memfokuskan pandangannya pada piring besi berjajar rapi jauh di depan yang menjadi incarannya.

Tidak seperti pada umumnya, Dirka sama sekali tidak menyelaraskan antara titik timbul yang ada di moncong dan di pangkal senjata dengan target. Dia harus bisa mengenai target walau tanpa harus melakukan itu. Ini adalah latihan untuk mempertajam instingnya.

Selama tiga tahun Dirka sudah banyak berubah. Tidak hanya sifat, tapi juga penampilannya. Tingginya sekarang 175 cm, dengan rambut hitam panjangnya tampak dikuncir ke belakang.

Pria paruh baya di sebelahnya bernama Deni, yang dari tadi terus mengawasi Dirka, dengan wajah serius.

'Melihat tuan muda sekarang, seperti melihat orang yang memiliki karakter dingin dan angkuh,' batin Deni.

Dengan tatapan tajam, seolah mengunci melalui matanya. Tanpa ragu, Dirka menekan pelatuk pistolnya.

Terdengar, gema tembakan pistol diikuti suara peluru mengenai piring besi yang menjadi sasarannya.

Melihat itu, Deni tersenyum puas sambil bertepuk tangan. "Bagus … sangat bagus, tuan. Ini jelas kemajuan yang sangat baik," Deni memuji Dirka dengan jujur.

"Terima Kasih," balas Dirka sembari tersenyum canggung. "Tapi aku merasa ini belum seberapa dibandingkan Pak Deni, yang mampu mengenai lebih dari sepuluh target dalam waktu singkat," ungkapnya.

Dirka menyampaikan apa yang sebenarnya. Jika dibandingkan dengan Deni dia jelas tidak ada apa-apanya.

"Hahaha," Deni tertawa saat mendengar dirinya dibandingkan dengan tuannya. "Tolong jangan bandingkan denganku yang sudah lebih dari dua puluh tahun bertugas sebagai tentara. Tuan muda yang hanya dalam sebulan sudah bisa mengenai semua target yang berjarak dua puluh meter. Jelas kemajuan yang luar biasa," jelasnya.

Deni menambahkan, "Belajar menembak bukanlah belajar mengendarai kendaraan. Dibutuhkan konsentrasi yang dan ketenangan dalam melakukannya. Melihat tuan muda mampu mengenai target dengan sempurna, ini jelas kemajuan yang sangat baik."

Deni yang sudah menginjak 55 tahun, ditambah pengalamannya sebagai tentara pasukan khusus, membuatnya paham betul apa itu senjata.

"Tapi tetap saja, aku,-"

"Tuan, janganlah terlalu sering merendah. Kamu harus bisa mengakui dirimu sendiri. Tapi juga jangan sampai terbuai dengan pencapaian itu," Deni menegur dan menasehati tuannya. Selayaknya orang tua, mendidik anaknya sendiri.

"Ya, Itu benar … juga, terima kasih," balas Dirka. Dia senang mendapatkan teguran itu dari Deni. Baginya, ini adalah bentuk kepedulian Deni padanya.

Dirka tidak pernah menganggap siapapun yang bekerja di rumah ini sebagai pelayannya. Sejak dia sudah tidak memiliki keluarga kandung. Para pelayan lah yang selalu menemani dan merawatnya. Itulah yang membuat Dirka selalu menganggap mereka semua sama seperti keluarganya sendiri.

"Pak Deni, apa kamu sudah sarapan? Kalau belum, mau sarapan bersamaku?" ajak Dirka. Mengingat ini masih pagi, ia berinisiatif mengajak mentor menembaknya ini untuk sarapan.

"Tuan Muda, aku senang kamu menawariku. Tapi … bagaimana aku mengatakannya—," kata Deni, dengan wajah tampak bermasalah.

"Ayolah pak, sesekali temani aku sarapan," Dirka sedikit memaksa.

"Tapi tuan, aku cuma pelayan di rumah ini. Jika pelayan lain melihatnya, aku takut jika muncul opini-opini yang tidak mengenakkan," balas Deni dengan senyum kecut di wajahnya.

"Aku heran, sama semua orang di rumah ini … setiap kali aku ajak makan bersama. Selalu saja mereka menjawab sama jawaban yang sama seperti ini," keluh Dirka dengan wajah kecewa.

Deni yang melibat wajah kecewa tuannya, sebenarnya merasa tidak enak hati karena sudah menolaknya.

Tapi mau bagaimana lagi. Deni tidak mungkin menerima tawaran Dirka. Deni yang tahu seperti apa dan siapa semua karyawan yang bekerja di rumah ini, membuatnya harus menolak tawaran ajakan dari tuannya.

Semua karyawan yang bekerja di rumah ini, bukanlah orang sembarangan. Mulai dari pelayan biasa hingga sekretaris. Bahkan Deni yang adalah seorang tukang kebun di rumah ini, sebenarnya adalah mantan anggota pasukan elit angkatan darat. Dan semua karyawan yang bekerja di rumah ini, mereka adalah para ahli bertarung dan bahkan ahli senjata.

Jika dia terlihat sarapan dengan Dirka, itu pasti akan memicu kecurigaan pelayan lain kepadanya. Orang-orang seperti mereka, tidak bisa disamakan dengan rasa curiga orang biasa.

Karena ada saat di mana rasa curiga mereka yang seharusnya disampaikan menggunakan lisan, berubah menjadi pedang atau bahkan pistol. Itu sama sekali tidak lucu, memikirkannya saja sudah membuat Deni sakit kepala.

Melihat ekspresi rumit Deni, Dirka hanya bisa mendesah lelah. 'Sebenarnya apa masalahnya sarapan dengan ku?' pikir Dirka dengan wajah kecut.

"Ya sudah, kalau Pak Deni nggak mau gak papa … Tapi pak, sekali lagi terima kasih bimbingannya hari ini," ucap Dirka.

"Sama-sama Tuan muda, senang rasanya jika memang ilmu saya bisa berguna," balas Deni.

"Ya sudah kalau begitu. Pak Deni, aku kembali dulu," ucap Dirka.

"Ya tuan, silahkan," sahut Deni sambil menunduk.

Dirka pun berbalik dan berjalan menuju kediamannya. Terlihat Deni yang melihatnya sedikit membungkuk hormat.

★★★

Di ruangan yang luasnya sama seperti dua kali luas lapangan badminton. Di tengah-tengahnya itu terdapat meja makan berbentuk oval, yang bahannya berasal dari kayu fosil dengan panjang dan lebarnya adalah sepuluh kali tiga meter.

Dirka berjalan memasukinya.

"Selamat pagi, tuan," sambutan beberapa pelayan wanita dan laki-laki yang yang berbaris rapi di pinggir ruangan.

"Pagi," balas Dirka singkat.

Semua pelayan itu terlihat mengenakan setelan jas dengan celana panjang berwarna hitam. Walaupun mereka semua pelayan, tapi tidak sedikitpun dari mereka yang tampak seperti pelayan. Penampilan mereka semua lebih seperti pegawai kantoran, yang mengenakan setelan jas seragam.

Di balik jas yang mereka semua kenakan, terdapat sebuah pistol khusus yang di gagangnya terdapat lambang huruf 'H', yang merupakan lambang keluarga Heka.

Dirka berjalan menuju meja makan besar itu. Di sana sudah ada dua pelayan satu laki-laki dan satunya perempuan. Dirka langsung di sambut salam oleh keduanya.

"Selamat pagi, tuan," sambut keduanya bersamaan sambil menunduk sopan.

"Pagi," sahut Dirka.

"Silahkan, Tuan Muda," ucap pelayan laki-laki, sembari menyiapkan kursi tempat Dirka akan duduk.

"Terima kasih," balas Dirka kepada pelayan itu, dan duduk di kursi yang disiapkan-nya.

"Sama-sama, tuan," balas pelayan itu sembari tersenyum ke arahnya.

Dia adalah Adrian, dia laki-laki berusia 35 tahun. Terlihat ada penutup mata seperti bajak laut yang menutupi mata sebelah kirinya. Itu bukan untuk bergaya. Tapi, memang karena matanya mengalami kebutaan karena suatu hal.

Dirka tidak tahu pasti apa yang membuatnya sampai mengalami luka, dan membuatnya buta seperti ini.

Tetapi, dulu dirinya pernah menyuruh Adrian untuk membukanya. Dirka pun memahami saat melihat luka di matanya, yang sangat jelas bahwa itu terluka karena terkena senjata tajam.

Sejak saat itu, Dirka tidak pernah lagi menanyakan masalah ini, karena dia hanya tidak ingin mengungkit masalah, yang seharusnya memang tidak ia ungkit .

★★★

Pandangan Dirka sekarang menatap ke arah meja makan panjang yang ada tepat di hadapannya.

"Hmmm," sesekali Dirka melihat kearah semua pelayan yang ada disana. Tapi mereka terlihat seolah mencoba menghindari tatapannya.

'Yah, ini lah mereka … seolah sudah tau apa niatku,' dihatinya Dirka mengeluhkan ini. Bagaimana tidak? Dia sudah tahu jika mereka menghindari tatapannya karena mereka takut jika diajak sarapan bersama dengannya.

"Tuan muda, apa ada sesuatu?" tanya pelayan Wanita yang berdiri di sampingnya.

"Tidak, tidak ada," balas Dirka.

Dia bernama Yuli, istri dari Adrian. Umurnya lima tahun lebih muda dari Adrian. Keduanya adalah kepala pelayan di kediaman ini. Semua pelayan yang bekerja di sini, bisa dikatakan sebagai bawahan mereka berdua.

Dirka lalu berkata, "oh iya, Yul ... aku ada usulan."

"Usulan? usulan apa, tuan?"

"Bagaimana, kalau mulai hari ini kita semua sarapan bersama?" saran Dirka.

"Kami semua sudah sarapan tuan," semua pelayan serentak langsung menjawab itu. Benar-benar seperti tidak ada jeda. Semuanya langsung menjawab sepersekian detik setelah Dirka menyelesaikan pertanyaannya.

"K-kalau begitu, bagaimana kalau mulai bes,-"

"Kita biasa sarapan jam 3 pagi tuan," kata semua pelayan itu lagi secara serentak.

Kali ini bahkan dia belum menyelesaikan perkataannya, dan mereka semua sudah menjawabnya. Seolah mereka sudah tau apa yang ingin dikatakannya.

Dirka pun langsung terdiam mendengar jawaban sekaligus penolakan tidak langsung, dari semua pelayannya ini.

★★★

Setelah sarapan Dirka langsung menuju ruang kerjanya. Adrian dan Yuli juga terlihat berjalan mengikuti di belakangnya.

"Yul, jadi bagaimana kelanjutan kontrak kerja sama dengan Mr.Braiman?" tanya Dirka tanpa menoleh ke arah Yuli.

"Sampai sekarang, semuanya berjalan lancar, tuan," balas Yuli.

"Baguslah, kalau begitu," sahut Dirka. "Juga, tolong nanti siapkan list detail kerjasama dengan Mr.Braiman, dan jangan lupa sekalian siapkan semua data mengenai semua hal mengenai perusahaannya. Aku ingin mempelajarinya lagi," pinta Dirka.

Yuli mengangguk ."Baik tuan, akan saya segera siapkan."

"Dri ... apa ada kendala dalam perkembangan proyek yang berjalan di Bali?" tanya Dirka. Sudah dari dulu Dirka selalu memanggil Adrian dengan panggilan Dri.

"Mengenai itu … ada sedikit kendala dengan warga sekitar, tuan," kata Adrian. "Banyak dari mereka yang memprotes di bangunnya kompleks perhotelan di sana. Tapi, semua sudah diselesaikan, dan sekarang sudah berjalan lancar sesuai keinginanmu, tuan."

Mendengar itu terlihat ada senyum puas di wajah Dirka sekarang. "Kalian berdua, Kerja bagus!"

" " Terima kasih, Tuan." "

Keduanya tersenyum senang setelah mendapatkan pujian dari Tuan muda mereka.

★★★

Sesampainya di ruangan kerjanya, Dirka melihat ada sebuah kotak box berwarna cokelat tua di atas meja kerjanya.

"Hm? apa ini?" tanya Dirka sambil membuka box itu. "Jam tangan?" gumamnya, saat melihat ada sebuah jam tangan hitam, yang tampak sangat elegan.

"Ah itu, hadiah Dari nyonya Karnia, tuan." kata Yuli.

Dirka menoleh memandang ke arah Yuli. "Karnia? Siapa Karnia?" tanya Dirka dengan wajah penasaran. Dirka merasa, dirinya tidak memiliki kenalan yang bernama Karnia.

"Nyonya Karnia itu, istri dari Bapak Susilo, jam ini adalah hadiah darinya. Itu karena tuan muda sudah membantu usaha suaminya yang mau bangkrut." jelas Yuli.

"Jadi begitu … jujur, aku merasa tidak melakukan apapun, lagi pula bagaimanapun itu sebuah investasi, jadi seharusnya hal seperti ini tidak perlu," balas Dirka, sembari mengambil jam tangan itu, dan mencoba memakai ditangannya.

Bagi Dirka apa yang dilakukannya hanyalah sebuah bisnis, dan Susilo adalah seorang partner bisnisnya. Mendapatkan hadiah karena dianggap membantu usaha dari partner bisnisnya, jelas bukanlah niatnya. Itulah yang Dirka pikirkan.

"Saya rasa tidak seperti itu, tuan," tiba-tiba Adrian menanggapi pemikiran Dirka.

"Hm?" Dirka menoleh ke arah Adrian dengan wajah bingung. "Maksudmu?"

"Tuan … biarpun itu sebuah investasi … tetap saja jika itu tidak dilakukan, sudah dipastikan perusahaannya akan bangkrut," jelas Adrian.

"Itu benar, tuan," Yuli mengangguk setuju dengan perkataan suaminya. "Karena pendanaan investasi yang tuan lakukan jelas sangat membantu dan bahkan juga menyelamatkan perusahaannya."

"Begitukah, aku tidak pernah berpikir sampai sana," balas Dirka.

Dirka hanya merasa, kalau dirinya hanyalah seseorang yang ikut menabur pupuk di pohon orang lain. Dan berharap bisa ikut merasakan rasa manis dari buahnya.

Tetapi, mendengar Adrian dan Yuli memberitahunya masalah itu, membuatnya sadar akan satu hal. Bahwa apa yang dilakukannya, ternyata bisa memiliki arti lain bagi orang lain.

Sama seperti memberi sebotol air minum, kepada orang yang haus. Disaat dirinya menganggap bahwa apa yang dia berikan hanyalah air. Namun, orang yang menerimanya mungkin akan menganggap dan menilainya lain. Bisa saja bahwa air itu sangat berharga baginya.

Sambil tersenyum memandangi jam tangan baru yang diterimanya. Dirka berkata. "Kalau begitu, tolong buatkan surat ucapan terima kasih dan kirimkan secepatnya."

"Baik tuan," sahut Yuli.

"Oh iya, aku hari ini ingin keluar, jadi kalian berdua tolong urus semuanya jika ada apa-apa," kata Dirka.

Adrian mengangguk. "Baik tuan, kalau begitu saya akan memerintahkan beberapa orang untuk mengawal kam,-"

"Tidak perlu, aku ingin pergi sendiri," Dirka memotong perkataan Adrian.

"T-tapi Tuan, itu berbahaya!" seru Yuli.

"Itu benar Tuan, saya tidak bisa menyetujui,-"

"Kalian berdua, Stop!" kata Dirka.

Keduanya pun langsung terdiam karena perintahnya.

"Hahh," Dirka mendesah lelah. "Berbahaya? apanya yang berbahaya? lagian aku hanya ingin mencari angin sebentar."

"Tapi tetap saja itu,-"

Dirka langsung memotong perkataan Yuli. "Aku ingin pergi sendiri, jadi kalian juga jangan suruh orang untuk mengikuti ku," perintahnya.

"T-ta,-"

"Titik!" Dirka kali ini memotong perkataan Ardian.

Jika sudah seperti ini, keduanya pun hanya bisa terdiam, dan tidak berani membantah perkataan tuannya lagi.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY