Pria yang telah menjadi suaminya selama lima tahun. Pria yang pernah berjanji untuk selalu berada di sisinya.
Tetapi sekarang, dengan wajah dingin dan sikap yang begitu jauh, ia berdiri di sana seakan-akan Kayla hanyalah seseorang yang tidak pernah berarti dalam hidupnya.
"Kenapa?" suara Kayla pecah di udara yang hening.
Leonel tetap tidak menjawab. Mata hitamnya menatap keluar jendela, menatap kelap-kelip lampu kota seolah-olah tidak ada yang lebih penting dari pemandangan itu.
"Leonel," panggil Kayla lagi, kali ini lebih putus asa. "Setidaknya beri aku alasan! Kenapa tiba-tiba kau ingin bercerai?"
Akhirnya, pria itu mengalihkan pandangannya ke arah Kayla. Tatapan itu kosong. Dingin. Tidak berperasaan.
"Tidak ada alasan," jawabnya, suaranya dalam dan tenang, tetapi begitu menusuk.
Kayla tertawa kecil, getir. Matanya berkaca-kaca. "Tidak ada alasan? Lima tahun pernikahan, dan kau bahkan tidak bisa memberiku satu alasan pun?"
Leonel menghela napas pelan. "Aku hanya ingin berpisah. Itu saja."
Itu saja?
Kayla merasa dadanya sesak. Selama lima tahun terakhir, mereka tidak pernah bertengkar besar. Tidak pernah ada tanda-tanda bahwa pernikahan mereka berada di ujung kehancuran.
Memang, Leonel selalu sibuk. Bisnisnya terus berkembang pesat, membuatnya semakin jarang di rumah. Tetapi Kayla tidak pernah mengeluh. Ia selalu berusaha mengerti, selalu mencoba memahami bahwa suaminya bekerja keras demi masa depan mereka.
Namun, kini pria itu berdiri di hadapannya dan dengan begitu mudahnya berkata, Aku hanya ingin berpisah.
Tidak adakah sedikit pun perasaan di hatinya?
Kayla mengepalkan tangannya. "Apakah ada wanita lain?" tanyanya lirih.
Leonel terdiam.
Sejenak, Kayla bisa melihat sesuatu dalam ekspresinya-keraguan? Sesal?
Namun, dalam hitungan detik, wajah itu kembali tanpa emosi.
"Bukan urusanmu," jawabnya singkat.
Jawaban itu lebih menyakitkan daripada yang bisa dibayangkan Kayla.
Bukan urusannya? Bukankah dia adalah istrinya?
Air mata yang berusaha ia tahan akhirnya jatuh. "Kau benar," katanya, suaranya terdengar patah. "Kalau itu maumu, aku akan menandatangani dokumen ini."
Ia mengambil pena yang ada di atas meja dan, dengan tangan gemetar, menorehkan tanda tangannya di bawah milik Leonel. Saat tinta mengering, saat namanya tertulis di sana, ia tahu semuanya telah berakhir.
Tidak ada lagi Kayla Stanford.
Hanya Kayla.
Setelah lima tahun, ia kembali menjadi dirinya sendiri-sendiri.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Leonel melangkah ke arah pintu. Ia meraih jasnya yang tergantung di dekat sofa, lalu berhenti sejenak sebelum benar-benar keluar.
"Mulai besok, aku akan mengurus proses perceraian ini secepat mungkin," katanya tanpa menoleh. "Pengacara akan menghubungimu untuk penyelesaian aset."
Kayla tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, menatap punggung pria itu dengan air mata yang terus mengalir.
Kemudian, pintu tertutup.
Suara langkah kaki Leonel semakin menjauh.
Kayla menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis yang ingin pecah.
Kenapa rasanya seperti dia mengambil seluruh hidupku bersamanya?
---
Di luar apartemen, Leonel berjalan menuju mobilnya dengan langkah tegap. Wajahnya masih datar, tanpa ekspresi.
Namun, begitu ia masuk ke dalam mobil, ia menutup mata dan menghela napas panjang.
Di tangannya, ada setangkai mawar putih yang sudah hancur.
Ia menggenggamnya begitu erat hingga duri-durinya melukai telapak tangannya, meninggalkan jejak darah yang menetes ke dasbor.
"Maafkan aku, Kayla."
Namun, kata-kata itu hanya bergema di dalam kepalanya, tak pernah keluar dari bibirnya.
Ia menyalakan mesin mobil dan melaju pergi, meninggalkan semua yang seharusnya tidak ia tinggalkan.