Di pesta ulang tahun perusahaannya, putranya secara terang-terangan menyebutku perempuan jahat yang mencoba merebut ayahnya. Saat aku melangkah mendekati anak itu, Bramantyo mendorongku hingga jatuh ke lantai untuk melindunginya. Kepalaku terbentur, dan saat nyawa calon anak kami mengalir keluar dari tubuhku, dia pergi begitu saja tanpa menoleh sedikit pun.
Dia tidak pernah menjengukku di rumah sakit. Dia membiarkanku menghadapi kehilangan bayi kami sendirian. Saat itulah aku tahu pria yang kucintai benar-benar telah tiada, dan lima tahun pernikahan kami adalah sebuah kebohongan.
Selingkuhannya mencoba menyelesaikan pekerjaan itu, mendorongku dari tebing ke laut. Tapi aku selamat. Dan saat dunia berduka atas kematian Alina Wijaya, aku naik pesawat ke Zurich, siap memulai hidup baruku.
Bab 1
Kehidupan rahasia suaminya masuk ke ruang kerjanya di hari pertamanya sebagai Kepala Residen. Seorang anak laki-laki berusia empat tahun dengan mata gelap ayahnya dan alergi turunan langka yang sangat ia kenal. Ibunya, Sandra Halim, adalah perwujudan kesempurnaan yang terawat, mulai dari tas desainer ternama hingga ekspresi khawatir namun tetap tenang.
Saat Alina mencatat riwayat penyakit anak itu, lonceng alarm dingin di benaknya berbunyi semakin kencang dengan setiap detail yang familier.
"Dan informasi ayahnya?" tanya Alina, menjaga suaranya tetap stabil sambil menunjuk formulir pasien.
Sandra mengambil pulpen, kuku manikurnya beradu dengan plastik. Dia menulis sebuah nama, lalu menggeser papan formulir itu kembali ke seberang meja. Mata Alina tertuju pada kertas itu.
Bramantyo Wijaya.
Dunia seakan jungkir balik. Ini pasti kebetulan. Pasti.
Sandra memperhatikannya, sebersit ekspresi yang tak terbaca-hiburan? kasihan?-di matanya. "Ayahnya sangat menyayanginya," katanya, nadanya begitu manis dibuat-buat hingga membuat kulit Alina merinding. "Tapi dia sangat sibuk dengan pekerjaan. Selalu bepergian untuk urusan bisnis. Aku hanya berharap bisa memberikan putraku rumah yang utuh, kau tahu?"
Sindiran itu bagai tamparan keras yang tak terlihat, langsung menghantam hati Alina. Sebelum dia bisa merangkai jawaban, ponsel Sandra bergetar. Dia menjawab, suaranya berubah menjadi bisikan mesra.
"Hai, sayang. Iya, kami baru saja selesai."
Suara di seberang telepon terdengar samar, terdistorsi oleh telepon, tapi Alina akan mengenalinya di mana saja. Itu Bram.
Gelombang mual yang hebat menerpanya. Jari-jarinya, kaku dan kikuk, menari di layar ponselnya sendiri, mengirim pesan teks ke suaminya.
Lagi apa?
Balasannya datang hampir seketika.
Lagi meeting proyek besar, sayang. Makan malam kita mungkin telat. Nanti aku tebus ya, janji. Aku cinta kamu.
Ponsel di tangan Sandra bergetar lagi. Dia tersenyum, senyum kecil yang penuh rahasia dan kepuasan, lalu menutup telepon. "Dia sedang dalam perjalanan menjemput kami," umum Sandra dengan ceria.
Alina merasa seperti bergerak di dalam air. Dia menyelesaikan konsultasi dengan mode autopilot, profesionalismenya menjadi perisai tipis melawan dunianya yang hancur berkeping-keping. Dia meresepkan obat yang diperlukan, memberikan instruksi pada Sandra, dan melihat mereka pergi.
Dari jendela kantornya, dia melihat semuanya. Mobil Bram yang familier menepi di pinggir jalan. Dia melihat suaminya keluar, bukan dengan postur lelah seorang pria yang baru selesai rapat menegangkan, tetapi dengan senyum santai dan lega seorang pria yang pulang ke rumah. Dia mengayunkan Leo ke dalam pelukannya, gerakannya begitu terlatih dan pasti. Dia mencium Sandra, sebuah kecupan singkat yang akrab di pipi. Mereka tampak seperti sebuah keluarga. Keluarga yang sempurna dan bahagia.
Seorang perawat muda, yang sedang menyortir arsip di sebelahnya, mendesah penuh harap. "Wah. Lihat mereka. Suami dan ayah idaman banget."
Komentar polos itu adalah pukulan terakhir yang menghancurkan. Sebuah keluarga? Lalu dia siapa?
Pikirannya melayang kembali ke lima tahun pernikahan mereka. Semua "perjalanan bisnis mingguan yang sudah terjadwal." "Keadaan darurat larut malam di kantor." Saat dia meringkuk kesakitan karena kram perut, dan Bram tidak bisa dihubungi, konon sedang dalam penerbangan. Selama ini, dia bersama mereka. Selama ini.
Dia teringat ulang tahun pernikahan mereka beberapa bulan lalu. "Kurasa aku siap," bisiknya di tempat tidur. "Ayo kita punya bayi." Bram terdiam, mengusap rambutnya. "Jangan sekarang, Alina," katanya dengan suara lembut. "Perusahaan sedang dalam tahap kritis. Beri aku waktu setahun lagi." Dan Alina percaya padanya.
Dia teringat masa-masa kuliah kedokteran, di mana Bram adalah saingan terberat sekaligus pengagum paling gigihnya. Dia membawakannya sup saat jaga 24 jam yang melelahkan, menemaninya saat dia pingsan karena kelelahan, dan melamarnya di keheningan ruang jaga yang dingin dan steril, bersumpah dia tidak bisa membayangkan hidup tanpanya. Semuanya terasa begitu nyata.
Ponselnya berdering, menghancurkan kenangan itu. Itu Bram. Namanya bersinar di layar, simbol cinta yang kini menjadi kebohongan mengerikan.
Dia menjawab, tangannya gemetar.
"Hei, gimana hari pertama di pekerjaan baru?" Suaranya hangat, nada penuh kasih yang selalu dia gunakan padanya.
Di latar belakang, Alina mendengarnya dengan jelas. Suara Leo berteriak, "Papa!" diikuti oleh tawa lembut Sandra.
"Aku lagi makan malam sama tim proyek," kata Bram lancar. "Agak berisik. Aku kangen kamu."
"Papa!" suara Leo terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
Nada suara Bram berubah, sedikit panik menyelinap masuk. "Itu cuma... anak salah satu rekan kerjaku." Dia menutup telepon dengan tiba-tiba.
Melalui jendela, Alina melihatnya menggendong anak itu, mencium keningnya, ekspresinya adalah potret pengabdian seorang ayah yang sempurna. Itu adalah tatapan yang belum pernah Alina lihat sebelumnya. Tatapan yang tidak pernah ditujukan untuknya.
Hatinya bukan hanya hancur, tapi membatu. Dia tidak menelepon sahabatnya. Dia tidak menelepon pengacara. Dia mencari kontak direktur program beasiswa penelitian medis bergengsi di Zurich. Program enam bulan yang imersif, yang pernah ia tunda demi tetap bersama Bram.
Suaranya terdengar anehnya tenang saat direktur itu menjawab. "Saya ingin menerima posisi itu," katanya. "Saya bisa segera berangkat."