Kayla Basuki berdiri di dekat jendela setinggi langit-langit, tatapannya terpaku pada hamparan lampu kota Jakarta di bawah sana. Semua cahaya itu kini kabur menjadi noda warna tak berarti.
Selama lima tahun, ia bukan hanya bayangan Bagas Adiwangsa-asistennya, pemecah masalahnya, wanita yang menyerap amarahnya dan membereskan semua kekacauannya-tetapi juga kekasihnya. Sebuah rahasia yang tersimpan rapat di dalam kemewahan steril penthouse miliknya, sebuah peran yang ia mainkan karena rasa tanggung jawab yang salah arah.
Dan semua itu karena sebuah janji pada seorang pria yang sekarat. Pria yang benar-benar ia cintai.
Kenangan itu masih sanggup menghentikan napasnya. Aroma steril rumah sakit, bunyi mesin yang terus berdetak, dan tangan kakak Bagas, Yudha, yang mendingin dalam genggamannya.
"Lima tahun, Kayla." Suara Yudha serak dan lemah, hanya bayangan dari bariton hangat yang ia puja. "Jaga dia selama lima tahun saja. Dia ceroboh, satu-satunya yang kumiliki. Janji padaku."
Yudha Prawira. Pria yang seharusnya menjadi masa depannya, suaminya. Satu-satunya cahaya sejati di dunianya, yang padam dalam kecelakaan mobil mengenaskan hanya beberapa minggu sebelum ia bisa memberikan nama Prawira pada adiknya melalui adopsi.
Kayla telah setuju. Ia akan menyetujui apa pun untuk Yudha. Dan dalam duka, ia memindahkan pengabdian itu pada satu-satunya orang yang Yudha tinggalkan. Ia salah mengira beban janjinya sebagai cinta untuk Bagas.
Sebuah pintu terbanting terbuka di belakangnya.
"Kayla."
Suara Bagas tajam, membelah keheningan. Dia tidak repot-repot menatap Kayla, perhatiannya terkunci pada ponsel yang menempel di telinganya.
"Aku tidak peduli butuh biaya berapa," bentaknya ke ponsel. "Selesaikan saja."
Dia mematikan teleponnya dan melempar ponsel itu ke sofa kulit. Matanya, yang tidak lagi dingin dan acuh tak acuh tetapi dipenuhi kekejaman main-main yang familier, akhirnya mendarat pada Kayla.
"Sudah kau dapatkan?"
"Proposal akuisisi ada di mejamu," kata Kayla, suaranya datar, tanpa emosi. "Aku sudah menandai faktor-faktor risiko utamanya."
"Aku tidak minta analisismu," katanya, seringai bermain di bibirnya. Dia berjalan ke bar, menuang minuman untuk dirinya sendiri. Dia menikmati permainan ini, menikmati kekuasaan yang dimilikinya atas Kayla. Dia yakin Kayla jatuh cinta mati padanya, seekor anak anjing setia yang tidak akan pernah meninggalkan sisinya. "Aku bicara soal merger dengan Hartono. Aku dan Sheryl akan menikah. Ini penting untuk perusahaan, untuk keluarga kami. Jadi, aku mau kau bersikap baik selama beberapa bulan ke depan. Tidak ada drama, mengerti? Aku tahu kau bisa jadi sangat emosional."
Sheryl Hartono meluncur masuk ke ruangan, melingkarkan lengannya di leher Bagas dari belakang. Dia mengecup pipi Bagas, matanya yang berkilauan penuh kemenangan bertemu dengan mata Kayla dari balik bahu Bagas.
"Jangan terlalu keras padanya, Gas," bisik Sheryl, suaranya meneteskan manis palsu. "Dia sudah berusaha sebaik mungkin. Hanya saja... yah, kita tidak bisa mengharapkan seseorang dari latar belakangnya mengerti tekanan yang kita hadapi, kan? Beberapa orang dilahirkan untuk memimpin, yang lain untuk mengikuti."
Ekspresi Bagas melembut saat menatap Sheryl. Dia berbalik, menarik Sheryl ke dalam pelukannya. "Kau terlalu baik padanya."
Pemandangan itu sudah biasa. Sebuah drama yang telah ia tonton berulang kali selama lima tahun. Sang pewaris arogan, pacar sosialitanya yang sempurna, dan bawahan tak berguna yang mabuk cinta.
Tangan Sheryl yang terawat sempurna terulur, bukan untuk mengambil gelas, tetapi untuk menyusurkan satu jari secara provokatif di bagian depan kemeja Bagas.
"Oh, sayang," desahnya, matanya tak pernah lepas dari Kayla. Dia sengaja mundur selangkah, menyenggol meja di dekatnya dan menjatuhkan segelas anggur merah. Anggur itu tumpah tepat di kemeja putih bersih Bagas. "Lihat apa yang kau lakukan!" pekiknya, menuding Kayla. "Kau berdiri terlalu dekat, kau membuatku kaget. Ini kemeja pesanan khusus!"
Tuduhan itu menggantung di udara, tidak masuk akal dan terang-terangan. Kayla tidak bergerak sedikit pun.
Wajah Bagas menjadi gelap. Dia menatap noda di kemejanya, lalu ke Kayla, matanya dipenuhi amarah dingin yang familier.
"Apa kau buta?" hardiknya. "Enyah dari hadapanku."
Tangan Kayla, tersembunyi di saku gaun hitam sederhananya, mengepal erat. Kukunya menancap ke telapak tangannya. Dia teringat satu malam, setahun yang lalu, ketika Bagas mabuk dan rapuh, berbisik bahwa hanya Kayla yang memahaminya, bahwa mungkin, mungkin saja, mereka bisa memiliki sesuatu yang nyata. Janji tunggal itu, secercah harapan itu, yang membuatnya terantai di sini. Sebuah janji yang jelas telah Bagas lupakan, atau tidak pernah ia maksudkan sama sekali. Rasa sakit yang kecil dan tajam itu menjadi pengalih perhatian yang disambut baik. Itu nyata.
Dia berbalik tanpa sepatah kata pun dan berjalan menuju pintu.
"Dan satu hal lagi," suara Bagas menghentikannya.
Dia berhenti, punggungnya menghadap mereka.
"Aku dan Sheryl akan bertunangan," umumnya, nadanya sengaja diselimuti kekejaman. "Pestanya bulan depan. Aku harap kau yang mengurus persiapannya. Lagipula, kau tahu betapa pandainya aku merencanakan masa depan. Sayang sekali Yudha tidak pernah punya kesempatan melakukan hal yang sama untukmu, ya?"
Setiap kata adalah pukulan palu.
Inilah akhirnya. Konfirmasi terakhir. Tapi alih-alih rasa sakit, perasaan lega yang aneh dan mendalam menyelimutinya. Dia telah berpikir, dengan bodohnya, bahwa dia jatuh cinta pada Bagas. Tetapi pada saat ini, dengan tusukan terakhirnya yang kejam, kabut duka dan kewajiban akhirnya sirna. Dia tidak mencintainya. Dia tidak pernah mencintainya. Dia telah berpegang pada hantu, mencoba memenuhi janji pada orang mati dengan mengorbankan dirinya untuk adiknya.
Dia bebas.
"Selamat," katanya, suaranya luar biasa tenang. Kata itu terasa bukan seperti abu, tetapi seperti napas pertama udara bersih setelah bertahun-tahun di dalam penjara bawah tanah.
Seringai Bagas goyah. Dia menatap punggung Kayla, secercah kebingungan dan kejengkelan di matanya. Ini bukan reaksi yang dia inginkan. Di mana air mata? Permohonan? Patah hati? Dia benci ketenangan yang meresahkan ini. Dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih tajam, tetapi Kayla sudah pergi, pintu tertutup pelan di belakangnya.
Dia menggerutu, berbalik kembali ke Sheryl. *Terserahlah,* pikirnya, menarik sang pewaris lebih dekat. *Dia mungkin hanya menyembunyikannya. Dia akan pulang dan menangis semalaman. Dia terlalu terobsesi padaku untuk bisa pergi.* Dia membuat catatan mental untuk mengiriminya salah satu tas tangan mahal yang tidak akan pernah bisa Kayla beli. Itu sepertinya selalu memperbaiki segalanya.
Kayla berjalan keluar dari penthouse, langkahnya mantap dan terkendali. Dia tidak lari. Dia tidak menangis.
Di apartemen kecilnya yang sunyi di gedung yang sama, dia mengeluarkan laptopnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, gerakannya presisi dan otomatis.
Dia tidak sedang menjawab email.
Dia sedang mendaftar untuk Reli Internasional Rinjani. Sebuah balapan ketahanan. Kompetisi brutal dan berbahaya di belahan dunia lain.
Dia menggunakan nama yang tidak pernah disebut siapa pun selama lima tahun. Nama yang berasal dari kehidupan yang berbeda. Kehidupan sebelum janji itu.
Email konfirmasi muncul di kotak masuknya. Tidak dapat dibatalkan.
Dia menutup laptopnya.
Janji itu telah terpenuhi. Hukumannya telah dijalani.
Saatnya untuk menghilang.