/0/14606/coverbig.jpg?v=3c51ca1685f6a4f64361273cc139a9ba)
Memiliki suami yang tidak berguna dan kerasnya kehidupan, memaksa Adilla melakoni profesi penjaja cinta demi menghidupi keluarganya. Adilla tahu bahwa dia harus segera melepaskan profesi haramnya itu. Namun, dia tidak tahu caranya ... sampai suatu peristiwa terjadi dalam hidupnya. Bagaimana kisah perjuangan Adilla untuk lepas dari dunia gelap? Apakah dia akan bertemu orang yang mencintai dirinya dengan segala masa lalunya?
Happy Reading
*****
Suara gesekan rel kelambu pada jendela yang dibuka membuat seorang perempuan muda mengerjapkan mata. Silau sinar mentari menusuk indera penglihatannya. Suara lenguhan manja keluar dari bibir tipisnya.
Saat kelopak mata terbuka sempurna, dia melotot. Di sampingnya, sudah ada segepok uang. Senyum kepuasan pun tampak. Tak salah, servis spesial diberikan pada sang tamu tadi malam.
Jika seperti ini terus, tabunganku nambahnya cepet.
Kesakitannya setimpal dengan bayaran yang diterima. Entah siapa yang membuka tirai pada kamar hotel, dia sudah tak peduli. Lekas perempuan itu mencari ponsel untuk melihat waktu. Tepat pukul tujuh dia harus cek out dari hotel mewah ini.
Kakinya mulai turun dari ranjang, kedua pergelangan tangan memerah akibat ikatan tali yang cukup keras. Sedikit lecet-lecet dan terasa perih. Belum lagi luka yang diberikan pria itu pada bagian paha serta kedua bahu. Sekali lagi perempuan itu tersenyum, kali ini senyum getir mengingat hidup yang dijalaninya.
Bukan sekali dua kali, dia mendapat perlakuan menyimpang dari para tamu. Namun, perempuan itu tetap menjalani profesinya dengan baik. Sama sekali tak mengeluh asal ada uang yang bisa dibawa pulang.
Berjalan dengan tertatih-tatih, dia menyalakan air hangat untuk berendam. Masih ada waktu satu jam sebelum meninggalkan hotel. Setidaknya dengan berendam air hangat bisa mengurangi sedikit rasa sakit pada setiap luka di bagian tubuhnya.
Sambil menunggu, dia mulai melamun. Setelah ini aku akan minta cuti pada Bos Eric, kangen pengen pulang.
Air hangat pada bak mandi sudah siap. Dia mulai masuk ke dalam, tetapi terhenti saat dering ponsel berbunyi. Satu nama yang sempat terlintas pada pikirannya tadi menelepon. Baru saja perempuan itu menggeser tombol hijau untuk menyapa, suara si penelepon sudah lebih dulu bertanya.
"Are you okey, Baby? Daddy bener-bener nggak tahu kalau cowok semalam punya penyimpangan dalam urusan satu itu." Nada suara seseorang yang menyebut dirinya Daddy itu terdengar khawatir.
"Fine, Dad. Aku bisa ngatasi. Cuma mulai besok, aku ijin pulang bentar. Sekitar empat sampai lima hari aja. Boleh, ya?" pintanya manja.
"Apa kamu terluka?"
"No, cuma luka kecil. Nggak akan terasa buatku." Dia tertawa lebar.
"Oke, temuin Daddy di depan hotel kamu nginap." Selesai berkata, lelaki yang dipanggil Daddy itu menutup panggilannya.
Adilla Erum Halimah, sebuah nama yang disematkan oleh almarhum bapaknya pada perempuan berusia 23 tahun itu. Jangan tanyakan apa pekerjaannya, tentu sudah bisa tertebak dari narasi-narasi yang tersaji di atas. Tak ada perempuan di dunia ini yang mau melakoni pekerjaan sepertinya jika bukan karena terpaksa.
Adilla mulai berendam, luka-luka kecil akibat ikatan serta cambukan tamunya semalam terasa begitu perih. Namun, itu masih belum seberapa jika dibandingkan kehidupan yang terus mengoyak dan menyakiti hatinya.
Satu tetes air jatuh mengaliri pipi. Terbayang keluarganya di desa yang tak pernah tahu apa pekerjaan sesungguhnya. Setiap kali pulang, dia akan memberikan alasan serta kemewahan dunia pada mereka. Topeng keluguan juga dimainkan saat itu.
*****
"Hai, Dad. Dah lama nunggu?" tanya Adilla ketika sudah menemukan lelaki yang dipanggilnya Daddy. Ciuman pipi kanan kiri juga diberikan pada lelaki itu.
Si Daddy membuka kaca mata hitamnya, meneliti setiap inci bagian tubuh si perempuan. Adilla menelan ludah, dalam hati dia berdoa semoga lelaki bernama Eric itu tak melihat luka-lukanya. Beruntung, dia selalu membawa peralatan make up sehingga bisa membantu menyamarkan goresan-goresan yang terukir di tubuh mulusnya.
Sebelum menemui Eric, Adilla sudah menutupi sebagian lukanya dengan foundation dan bedak. Baju yang memang terbuka, sengaja tidak dia tutupi dengan jaket. Hal itu dilakukan agar Eric bisa melihat tak ada luka apa pun pada dirinya.
"Yakin, dia tidak menyakitimu?" tanya Eric.
"Yakin." Adilla memutar tubuh moleknya di hadapan Eric, dia sengaja menonjolkan seluruh lekukan indah itu untuk ditatap dan diteliti.
"Oke. Daddy percaya." Eric menuntun tangan Adilla untuk duduk.
"Daddy dah pesen?" tanya Adilla kemudian.
"Udah," jawabnya, "ceritakan apa yang laki-laki itu lakukan. Daddy nyesel tahu perilaku menyimpangnya pas tengah malam. Awas aja kalau sampai dia datang lagi!"
"Santai, Dad. Dah resiko kami, asal bayarannya sebanding aja. Kalau nggak tinggal tendang dari jendela hotel." Adilla tertawa.
Eric, hanya diam saja. Lelaki paruh baya itu boleh saja seorang bajingan, tetapi dia paling tidak suka jika anak-anak di bawah pengawasannya disakiti oleh tamu yang menyewa jasa mereka. Semalam, dia merasa tertipu dengan lelaki tampan itu.
"Oke. Kapan kamu mau pulang?" Eric mulai meminum minuman dingin yang dia pesan.
"Kalau nanti sore gimana, Dad?" Satu kerlingan mata kiri Adilla berikan agar Eric meloloskan keinginannya.
"Daddy transfer uang bayaran semalam setelah ini. Ponselku lagi low sekarang."
"Up to you, Dad." Tiba-tiba tangan kanan Eric meraba paha mulus Adilla. "Sabar, Dad. Jangan di sini!"
"Oke."
*****
Di tengah perjalanan pulang, Adilla mengganti baju yang terlalu terbuka dengan pakaian yang lebih sederhana. Setiap kali kembali ke rumah, dia menampakkan sisi lain dirinya. Seorang perempuan desa yang masih terlihat sederhana, walaupun sudah bekerja di kota besar. Dia tak mau para tetangga mengulik-ulik pekerjaan dan kehidupannya saat di kota dengan dandanan yang terlalu mencolok.
Sopir suruhan Eric untuk menemaninya pulang, hanya diperbolehkan mengantar sampai pelabuhan saja. Setelah menyeberang selat Bali nanti, perempuan itu akan menggunakan angkutan umum untuk sampai ke rumah. Adilla membayangkan wajah-wajah bahagia Ibu dan adik-adiknya ketika datang. Tak sabar rasa hati untuk segera bertemu mereka.
Lewat tengah malam, Adilla baru sampai di rumah. Hal itu terjadi karena dia mampir terlebih dahulu di pusat perbelanjaan untuk membelikan oleh-oleh Ibu dan ketiga adiknya. Berbagai macam mainan si bungsu, pakaian serta sepatu untuk adik laki-laki.
Ibunya yang membukakan pintu pertama kali langsung memeluk erat, saat itulah Adilla menjerit kesakitan. Luka di bahunya terasa sekali. Perempuan sepuh yang telah melahirkan dan merawatnya sejak kecil terkejut mendengar rintihan sang putri.
"Kenapa, Rum? Apa ada yang sakit, Nak?" tanya ibunya, Sumaiyah. Cepat dia memeriksa tangan si sulung. Ada bekas luka memanjang di sana. Pergelangan juga tampak memar. "Ini kenapa, Rum?"
"Pas bersih-bersih kebentur lemari, Bu. Rum istirahat dulu, nggeh?" kata Adilla menghindari pertanyaan ibunya.
"Iya ... iya. Kamarmu di depan itu. Udah selesai dari sebulan lalu." Sumaiyah membantu membawa kantong-kantong plastik yang di bawa putri sulungnya ke kamar.
Sebagai seorang Ibu yang tak lagi bisa menafkahi anak-anaknya, dia sangat bangga pada si sulung. Waktu memang telah menghempaskan seluruh kebahagiaan Adilla, tetapi sekarang Sumaiyah bisa melihatnya berubah. Wajah muram dan putus asa telah hilang, meskipun putrinya itu belum mau untuk membina rumah tangga lagi.
*****
Orang jawa menyebut garwa sebagai kepanjangan dari sigarane nyowo atau yang kita kenal sebagai belahan jiwa. Disebut belahan jiwa karena memang penciptaan seorang perempuan dari tulung rusuk seorang laki-laki sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan jiwa. Namun, apa jadinya jika seseorang yang disebut belahan jiwa tidak pernah menghargai pengabdian pasangannya. Menemani seseorang dari nol bukan berati dia akan membalas dengan kesetiaan hingga akhir hayat. Ujian demi ujian dalam pernikahan itu akan selalu hadir, tetapi jika ujian yang dihadapi hanya berkutat pada masalah perselingkuhan dan perpelakoran. Akankah tetap mengukukuhkan ikatan pernikahan? Baca aja, ya! Ambil sisi baik cerita ini, buang jauh sisi buruknya. Happy Reading.
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa cinta adalah hal yang indah, tetapi bagi Gina tidak demikian. Dia tidak bisa mengerti mengapa kehidupannya yang sempurna tiba-tiba menjadi seburuk neraka. Setelah mengalami keguguran dan cacat wajah, karier dan reputasinya juga hancur. Kehidupan Gina yang sempurna mulai hancur setelah dia bertemu dengan Evan. Pria itu dengan kejam menghancurkan hatinya menjadi berkeping-keping. Hati Gina benar-benar tertusuk oleh duri-duri cinta.
Niat untuk melamar pekerjaan sebagai pengasuh, karena membutuhkan pekerjaan tambahan demi menyambung hidup dan membiayai pengobatan ayahnya, justru mengantarkan Laura pada kegilaan Greyson yang merenggut kesuciannya, dan mengikat untuk menjadi pemuas nafsu. Akankah Laura bersedia menjadi budak pemuas Grey demi sejumlah uang untuk pengobatan ayahnya?