/0/25272/coverbig.jpg?v=873144c04be32a15c523f6e099bb0e06)
Kisah yang akan mengurai emosi dan air mata. Khusus Dewasa
Kisah yang akan mengurai emosi dan air mata. Khusus Dewasa
"Kalian masih belum dapat kabar baik, ya? Padahal sudah lima tahun, lho."
Suara Bu Elsa terdengar ringan-nyaris seperti basa-basi, tapi ucapannya menancap tepat di dada Zahra.
Zahra menelan ludah, mencoba mempertahankan senyumnya.
"Iya, Ma. Kami masih berusaha..." jawabnya pelan.
Belum sempat suasana reda, Ferlin, adik ipar Zahra, menyambar, nada geli terdengar jelas.
"Di keluarga kita sih nggak ada yang susah punya anak. Aku aja, begitu nikah langsung hamil. Mungkin Ferdi juga, kalau nggak dicegah, istrinya udah hamil juga tuh."
Zahra meremas jemarinya di pangkuan. Napasnya mulai terasa berat, tapi ia tetap berusaha tenang. Ruang tamu yang harusnya terasa hangat, kini berubah menjadi medan tekanan. Sunyi tapi menyesakkan.
"Iya, mungkin kamu perlu diperiksa lebih lanjut, Ra," Bu Elsa menambahkan, sambil tertawa kecil. Tatapannya tajam tapi terselubung manis. "Siapa tahu ada yang perlu diperbaiki."
Zahra melirik ke arah Fadlan. Harapannya sederhana: suaminya membela. Tapi Fadlan sibuk mengobrol dengan Pak Arya, pura-pura tidak mendengar. Seolah dirinya tak sedang duduk di tengah serangan pasif-agresif.
Dengan napas tertahan, Zahra tetap tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya getir.
"Kami sudah periksa, Ma. Dan hasilnya... yang perlu lebih berusaha sebenarnya Mas Fadlan."
Ruangan langsung senyap beberapa detik. Bu Elsa terkekeh, tapi wajahnya tampak terganggu.
"Ah, masa? Dokter bisa salah, lho. Fadlan itu sehat dari kecil. Nggak pernah sakit parah."
"Iya, Ma, tapi yang diperiksa bukan soal itu," jawab Zahra tenang namun tegas. "Dokter bilang, kualitas benih juga pengaruh besar pada peluang kehamilan."
Ferlin menyela dengan tawa kering, mencoba mencairkan suasana.
"Mungkin Mas Fadlan cuma kurang makan yang sehat dan bergizi aja, kali..."
Dan lalu hening. Hening yang berat dan tajam.
Bu Elsa dan Ferlin saling melirik. Fadlan, yang tadi masih santai menyeruput teh, tiba-tiba terbatuk kecil.
Tatapannya mengarah ke Zahra-tatapan peringatan. Tapi Zahra sudah muak. Sudah terlalu lama ia menanggung semua komentar dan tekanan sendiri.
Zahra tak bergeming. Kali ini, biarlah suaminya ikut merasa sedikit saja apa yang ia rasakan.
Pak Arya akhirnya ikut bicara, suaranya tenang tapi tegas.
"Ma, jodoh, pati, dan anak itu rezeki dari Allah. Kita nggak bisa terlalu jauh ikut campur. Yang penting usaha dan tawakal."
"Iya, Yah. Tapi Mama kan cuma nyaranin Zahra untuk usaha lebih keras lagi," Bu Elsa bersikeras, nada suaranya mulai naik sedikit.
Pak Arya tetap kalem.
"Ayah percaya Zahra dan Fadlan sudah berusaha keras. Kalau Allah belum izinkan, ya kita tinggal bersabar, Ma."
Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Bude Anin, kakak Pak Arya, masuk begitu saja.
"Lho, kok tegang gini? Lagi ngomongin apa?" tanyanya sambil duduk santai di samping Bu Elsa, adik iparnya.
"Ini lho, ngomongin Zahra dan Fadlan yang belum juga dikasih momongan," sahut Bu Elsa, dengan tawa yang dipaksakan.
Bude Anin tertawa lebar.
"Kenapa nggak bilang dari awal? Di kampung sebelah ada Gus Bokis. Banyak yang berhasil. Ada yang divonis mandul aja bisa langsung hamil, lho."
Zahra menoleh ke Fadlan, berharap kali ini ia akan menolak dengan tegas. Tapi seperti biasa, Fadlan diam. Pandangannya kosong, seolah semua ini bukan urusannya.
Akhirnya, Zahra bicara. Suaranya tenang tapi tajam.
"Maaf, Bude. Saya dan Mas Fadlan lebih memilih pengobatan medis. Kami sudah tahu apa yang perlu dilakukan."
Bude Anin mencibir pelan.
"Jangan sombong, Neng. Usaha itu bisa lewat mana aja. Rezeki itu perlu dikejar, gak bisa nunggu datang sambil duduk termangu. Kalau diam aja itu sama aja dengan menolak rizki. Nanti kalau udah lewat baru nyesel."
"Iya, kenapa nggak dicoba dulu, Ra? Jangan terlalu kaku," sambung Bu Elsa.
Zahra menggigit bibir, jari-jarinya mencengkeram rok. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Fadlan akhirnya angkat suara.
"Kami akan tetap jalani pengobatan sesuai rekomendasi dokter, Bude. Terima kasih atas sarannya."
Zahra menoleh cepat, agak terkejut. Tapi ada sedikit kelegaan-meski hanya sebentar.
Namun Bude Anin belum selesai.
"Ya udah. Kalau nggak mau dikasih tahu sama orang tua. Anak-anak sekarang memang susah nurut. Semoga aja kalian nggak sampai nyesel nantinya."
Suasana menjadi benar-benar canggung. Tak ada yang bicara. Bahkan Pak Arya hanya menunduk, entah malas terlibat atau terlalu letih dengan drama rumah tangga anaknya.
Tak lama, Fadlan berdiri dan berkata pelan, "Ayo, Ra. Kita pulang."
Zahra mengangguk, tak bicara. Ia berdiri, mengangkat tas kecilnya, lalu berjalan bersama suaminya meninggalkan ruang tamu yang mendadak terasa seperti ruang interogasi.
Dalam perjalanan pulang dengan motor, Zahra duduk diam. Tangannya tak melingkar di pinggang suaminya seperti biasa. Angin malam menerpa wajahnya, tapi tak cukup dingin untuk meredakan panas di dalam dadanya. Ia menatap lurus ke samping, seolah mencoba menahan lautan emosi yang siap meledak. Fadlan bisa merasakan perubahan sikap istrinya. Tapi seperti biasa, ia memilih diam.
Sesampainya di rumah, Zahra langsung turun tanpa sepatah kata pun. Langkahnya cepat masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu terbuka begitu saja. Fadlan menghela napas berat, lalu memarkir motor dengan perasaan tak menentu.
Di ruang tengah, Zahra berdiri dengan tangan gemetar, melepaskan kerudungnya dengan kasar. Wajah dan matanya memerah, bukan karena ingin menangis, tapi karena marah yang sudah mencapai puncaknya.
"Kenapa tadi kamu diam aja, Mas?" protes Zahra. Suaranya pelan, tapi tajam seperti pisau yang menyayat.
Fadlan menutup pintu perlahan dan menguncinya. "Aku nggak mau ribut sama Mama, Ra."
Zahra tertawa pendek, getir. "Oh, jadi biar kamu tetap kelihatan anak baik. Dan aku yang harus terus-terusan dijadikan sasaran? Kamu denger sendiri kan tadi mereka bilang apa? Seolah-olah aku ini... mandul, kan?"
Fadlan mengusap wajah. "Aku cuma nggak pengin ada keributan di rumah orang tua sendiri, Ra."
Zahra mendekat, matanya menyala. "Tapi kamu tega membiarkan aku dilecehkan begitu, Mas? Lima tahun. Lima tahun aku disindir, dibanding-bandingkan. Dan kamu selalu... DIAM!" Zahra tak kuasa lagi menahan gejolak dalam dadanya,
"Aku capek, RA," jawab Fadlan, nada suaranya mulai meninggi. "Kamu pikir aku nggak ngerasa bersalah? Aku juga malu, Zahra!"
"Kalau kamu malu, kenapa kamu membiarkan aku terus yang dihina dan salahkan, Fadaln?" Suara Zahra mulai bergetar karena kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. "Aku ini istri kamu, Fadlan. Tapi aku merasa seperti orang asing di keluargamu sendiri!"
Fadlan menunduk. "Aku nggak tahu harus gimana..."
"Kamu tinggal ngomong! Satu kalimat, 'Tolong jangan salahin Zahra, ini bukan salah dia.' Sesederhana itu, Fadlan! Tapi kamu nggak pernah punya nyali!" Suara Zahra makin meninggi, dadanya naik-turun.
Fadlan terpaku. Suara Zahra menggema di antara dinding rumah yang dingin.
"Setiap pulang dari rumah orang tuamu, aku selalu merasa kecil dan terhina. Tapi kamu... kamu selalu bilang 'biarin aja,' 'nggak usah dipikirin'. Apa kamu pikir aku ini batu? Aku ini manusia yang punya perasaan? Coba kalau kamu dihina dan direndahkan oleh keluargaku, terus aku diam saja, kamu mau gimana, Fadlan?" Zahra benar-benar lepas kontrol.
Fadlan menggigit bibirnya. "Aku cuma... bingung harus gimana menghadapi mereka."
"Kamu itu keluarga mereka, masa malah bingung?" Zahra makin kesal. Lalu menatap suaminya lekat-lekat. "Kamu itu laki-laki, Mas. Kamu cuma takut jadi anak durhaka. Tapi kamu nggak pernah takut kehilangan aku, istrimu."
Fadlan menegang. Tidak ada bantahan.
Zahra menarik napas panjang, suaranya melemah, tapi lebih dalam. "Aku butuh suami yang berdiri di sampingku, bukan di belakang ibunya. Bagaimana kalu hinaan itu datang dari orang lain, apakah kamu juga akan membiarkannya?"
Zahra berbalik, melangkah ke kamar, meninggalkan Fadlan yang berdiri membeku, diliputi rasa bersalah dan kekosongan yang menggigit.
Ketika Fadlan mengetuk pintu kamar, Zahra justru memberikan ultimatum,
"Kalau kamu belum siap jadi suami, sebaiknya kita tidak perlu tidur bareng, Mas!"
"Zahra...."
"Aku ingin sendirian dulu, Mas!" potong Zahra tegas.
Fadlan hanya bisa pasrah.
Fadlan terlentang di sofa ruang tamu. Lampu sudah dimatikan, tapi pikirannya tetap menyala, penuh sesal dan kekosongan. Di balik pintu kamar yang tertutup, Zahra duduk memeluk lutut di sudut ranjang, matanya kosong menatap gelap. Bukan karena dia ingin menyerah, tapi karena sudah kehabisan tenaga untuk terus berjuang sendirian.
^*^
‘Ikuti terus jatuh bangun perjalanan Sang Gigolo Kampung yang bertekad insyaf, keluar dari cengkraman dosa dan nista hitam pekat. Simak juga lika liku keseruan saat Sang Gigolo Kampung menemukan dan memperjuangkan cinta sucinya yang sangat berbahaya, bahkan mengancam banyak nyawa. Dijamin super baper dengan segala drama-drama cintanya yang nyeleneh, alur tak biasa serta dalam penuturan dan penulisan yang apik. Panas penuh gairah namun juga mengandung banyak pesan moral yang mendalam.
Siska teramat kesal dengan suaminya yang begitu penakut pada Alex, sang preman kampung yang pada akhirnya menjadi dia sebagai bulan-bulannya. Namun ketika Siska berusaha melindungi suaminya, dia justru menjadi santapan brutal Alex yang sama sekali tidak pernah menghargainya sebagai wanita. Lantas apa yang pada akhirnya membuat Siska begitu kecanduan oleh Alex dan beberapa preman kampung lainnya yang sangat ganas dan buas? Mohon Bijak dalam memutuskan bacaan. Cerita ini kgusus dewasa dan hanya orang-orang berpikiran dewasa yang akan mampu mengambil manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Bella menggeliat di bawah tubuh Bram, kedua tangannya mencengkeram erat sprei yang sudah kusut. Nafasnya terengah, bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. "Ahh... Bram... ahhh... lebih dalam..." suara itu pecah, bercampur antara kenikmatan dan keputusasaan. Tubuhnya bergetar setiap kali Bram menghantam, membuatnya semakin terhanyut. "Ahh... enak sekali... jangan berhenti..." rintih Bella, matanya terpejam, wajahnya memerah diliputi panas yang semakin membakar. Bram hanya terkekeh rendah, melihat bagaimana istrinya tenggelam dalam permainan mereka. Semakin Bella mendesah, semakin cepat gerakannya, membuat kamar itu penuh dengan suara ranjang yang berderit, bercampur dengan panggilan dan rintihan Bella yang semakin tak terkendali.
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
"Masukin kak... Aahhh... Aku sudah gak tahan..." Zhea mengerang. Kedua tangannya telah berpindah ke atas kedua payudaranya yang berukuran 34B dengan puting berwarna merah muda yang nampak menggemaskan ditambah dengan kulitnya yang putih mulus. Kedua tangan Zhea meremas-remas payudaranya menantikan vaginanya diterobos oleh penis milik suaminya tersebut. Permintaan tersebut tak juga digubris oleh pria yang berstatus sebagai suami dari seorang wanita yang sedang terlentang pasrah menunggu hujaman penis 10cm nya. Pria itu tetap sibuk menggesekkan penisnya yang tak kunjung berdiri sedangkan vagina milik istrinya telah sangat menantikan hujaman dari penis miliknya. "Gak berdiri lagi ya kak?" Tanya Zhea. "Gak tau nih, kok gak bisa berdiri sih" jawab Muchlis. "Ya sudah, gesek gesek saja kak.. yang penting kakak puas" ujar Zhea kepada pria berusia 34 tahun itu
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
© 2018-now Bakisah
TOP