Dan dia mendengarkan. Dia menatapku untuk terakhir kalinya, matanya dipenuhi rasa kasihan yang lebih menyakitkan dari api mana pun, lalu dia berbalik dan lari, meninggalkanku terbakar.
Sampai aku mati, aku tidak mengerti. Laki-laki yang berjanji akan selalu melindungiku baru saja melihatku terbakar sampai mati. Cinta tanpa syaratku adalah harga yang kubayar agar dia bisa bersama kakakku.
Ketika aku membuka mata lagi, aku kembali ke kamarku. Satu jam lagi, aku harus menghadiri rapat dewan keluarga. Kali ini, aku berjalan langsung ke ujung meja dan berkata, "Aku membatalkan pertunangan ini."
Bab 1
Pintu kayu jati yang berat di ruang rapat keluarga Gunawan terbuka dengan keras hingga membuat gelas-gelas kristal di atas meja mahoni bergetar.
Aira Gunawan berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, tanpa riasan, dan matanya, yang biasanya hangat dan lembut, kini sedingin dan sekeras serpihan es.
Dia berjalan lurus ke ujung meja, tempat ayahnya duduk, wajahnya menunjukkan kebingungan total.
"Aku mau membatalkan pertunangan."
Suaranya datar, tanpa sedikit pun emosi. Suara itu membelah keheningan percakapan tentang merger yang akan datang antara Gunawan Group dan kerajaan bisnis Wijoyo.
Ayahnya, Prasetyo Gunawan, menatapnya. "Aira, apa yang kamu bicarakan? Jangan konyol. Bima sebentar lagi akan tiba."
"Aku tidak konyol," katanya, tatapannya menyapu seluruh anggota keluarga yang berkumpul. "Aku tidak akan menikah dengan Bima Wijoyo."
"Ini bukan hanya tentangmu, Aira," kata ayahnya, suaranya meninggi. "Ini tentang merger yang sudah direncanakan selama satu dekade. Ini tentang masa depan keluarga ini."
Kehidupan itu telah berakhir saat dia mengkonfrontasi Bima dan kakak tirinya tentang perselingkuhan mereka. Konfrontasi itu berubah menjadi buruk, dan dalam kekacauan itu, api mulai menyala di studio seninya.
Hal terakhir yang dia ingat adalah rasa sakit yang membakar saat Bima meninggalkannya, dan kemudian... kehampaan yang hitam dan sunyi. Sampai dia terbangun dengan napas terengah-engah di tempat tidurnya sendiri pagi ini, matahari bersinar, burung-burung berkicau, dan kalender menunjukkan tanggal dari dua tahun yang lalu. Itu bukan mimpi. Itu adalah kesempatan kedua.
Dia ingat api itu. Asap tajam memenuhi paru-parunya, panas yang membakar kulitnya. Dia ingat berteriak memanggil Bima, tunangannya, pria yang telah dicintainya sejak kecil.
Dia ada di sana. Dia berdiri di luar pintu studio seninya, wajahnya diterangi oleh api. Dan bersamanya ada Clara, kakak tirinya.
"Bima, tolong! Tolong aku!" teriaknya, suaranya serak.
Clara bergelayut di lengannya, wajahnya menampilkan kengerian palsu. "Bima, terlalu berbahaya! Nanti kamu terluka! Kita harus pergi!"
Dan dia mendengarkan. Dia menatap Aira untuk terakhir kalinya, matanya dipenuhi rasa kasihan yang lebih menyakitkan dari api mana pun, lalu dia berbalik dan lari, meninggalkannya mati.
Ingatan itu begitu jelas hingga membuat perutnya mual. Itulah harga dari sifat lembutnya. Itulah imbalan untuk cinta tanpa syaratnya.
"Dia tidak mencintaiku," kata Aira, suaranya masih tenang yang mengerikan. "Dia jatuh cinta pada Clara."
Terdengar desahan kaget dari seberang meja.
Clara Santoso, kakak tirinya, mendongak, matanya yang lebar dan polos mulai berkaca-kaca. "Aira, bagaimana bisa kamu mengatakan hal seperti itu? Bima sangat memujamu. Aku... aku hanya kakakmu."
"Jangan berani-beraninya kau sebut dirimu kakakku," bentak Aira, suaranya akhirnya pecah dengan serpihan amarah.
"Aira, cukup!" Prasetyo Gunawan menggebrak meja.
Clara mulai terisak pelan, suara yang lembut dan memilukan yang selalu berhasil meluluhkan para pria di keluarga ini. "Bima sangat mengkhawatirkanmu sejak kecelakaanmu. Dia menelepon setiap jam. Dia begadang semalaman hanya untuk menemukan pigmen edisi terbatas yang kamu inginkan untuk lukisan barumu."
Aira hampir tertawa. Pigmen itu. Ya, Bima telah menemukannya untuknya.
Dia juga telah menemukan berlian langka untuk Clara.
"Dia memberimu pigmen itu, kan?" Mata Aira menatap tajam ke arah Clara. "Dan apa yang dia berikan padamu?"
Clara tampak bingung. "Aku... aku tidak tahu apa maksudmu."
Aira merogoh saku gaun hitam sederhananya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Dia melemparkannya ke atas meja. Kotak itu meluncur di atas kayu yang mengkilap dan berhenti di depan ayahnya.
Prasetyo membukanya. Di dalamnya ada sebuah kalung, rantai perak halus dengan liontin safir berbentuk tetesan air mata.
"Bima memberikannya padaku bulan lalu untuk ulang tahun hubungan kami," Aira menjelaskan kepada seisi ruangan.
Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya dan melemparkannya ke meja di sebelah kotak itu. Layarnya menyala, menunjukkan sebuah foto.
Itu adalah foto Bima dan Clara. Mereka berada di atas kapal pesiar, dengan matahari terbenam di belakang mereka. Lengan Bima melingkari Clara, dan dia sedang mencium lehernya. Di leher Clara ada sebuah kalung.
Itu adalah rantai perak halus dengan liontin safir berbentuk tetesan air mata.
Identik dengan yang ada di dalam kotak.
"Dia bilang padaku itu adalah barang satu-satunya, dirancang khusus untukku," kata Aira, suaranya penuh sarkasme. "Dia berbohong."
Dia mengambil kotak itu. "Yang ini harganya tiga juta rupiah di sebuah toko perhiasan di mal. Aku sudah memeriksanya. Yang dipakai Clara di foto itu? Itu dari Cartier. Harganya tiga miliar rupiah."
Dia membiarkan kalung murahan itu jatuh dari jemarinya, berderak di atas meja. Terlihat menyedihkan dan kecil.
Dia ingat betapa dia menghargainya. Betapa dia memakainya setiap hari, mengira itu adalah simbol cinta Bima yang unik untuknya. Kesadaran akan kemurahannya, kepalsuannya, adalah pil yang pahit.
Tepat pada saat itu, pintu terbuka lagi.
Bima Wijoyo bergegas masuk, rambutnya sedikit berantakan, dasinya longgar. Dia tampak seperti berlari sepanjang jalan ke sini.
"Aira, sayang, maaf aku terlambat. Aku tadi..." Dia berhenti ketika melihat suasana di ruangan itu. Dia melihat foto di ponsel, kalung di atas meja, dan ekspresi di wajah Aira.
"Aira, ini tidak seperti yang terlihat," katanya, suaranya memohon. "Biar aku jelaskan."
"Jelaskan apa?" tanya Aira. "Jelaskan kalung mana yang asli?"
Sebelum Bima bisa menjawab, Clara menjerit pelan. Dia terhuyung, satu tangan menekan dahinya.
"Aku merasa... pusing," bisiknya.
Seketika, perhatian Bima beralih dari Aira ke Clara. Kepanikan di wajahnya sekarang nyata, tetapi itu semua untuk wanita selingkuhannya.
"Clara!" Dia bergegas ke sisinya, menangkapnya saat tubuhnya terkulai. "Kamu baik-baik saja? Ada apa?"
Dia memeluk Clara dengan kelembutan panik yang sudah bertahun-tahun tidak dia tunjukkan pada Aira. Dia bahkan tidak melirik kembali ke tunangannya, wanita yang seharusnya dinikahinya, wanita yang telah dia biarkan terbakar.
Melihat mereka, bara cinta terakhir di hati Aira berubah menjadi abu yang dingin dan keras. Inilah buktinya. Tepat di depan semua orang.
Keputusannya bukan hanya benar; itu perlu untuk kelangsungan hidupnya.
"Nah," kata Aira, suaranya bergema dengan kepastian. "Kalian lihat? Dia sudah membuat pilihannya."
Dia menatap ayahnya, yang wajahnya merupakan campuran antara syok dan kengerian yang mulai merayap.
"Aku membatalkan pertunangan ini," ulangnya. "Jika keluarga Wijoyo membutuhkan pengantin dari keluarga Gunawan untuk menyegel merger, biarkan mereka memiliki Clara. Dia tampaknya lebih dari bersedia untuk mengambil tempatku."
Prasetyo Gunawan menatap dari wajah tegas putrinya ke pemandangan Bima yang sibuk mengurusi Clara. Dia tampak bingung.
"Aira... jangan gegabah," gagapnya. "Semuanya hanya... perlu tenang."
"Beri mereka waktu seminggu," ibu tirinya, ibu Clara, menyarankan dengan lancar. "Masa tenang. Aira hanya sedang emosional. Dia akan sadar nanti."
Seminggu. Mereka memberinya waktu seminggu untuk melupakan dibakar hidup-hidup. Seminggu untuk menerima digantikan oleh tiruan murahan.
Baiklah. Seminggu akan lebih dari cukup.