/0/3260/coverbig.jpg?v=59ed1082cec15286d7bc9b89dcdf69d0)
Lia mengecup punggung tangan kananku dengan tawadlu' setelah Lia menduduki ranjangnya yang kali ini aku buat merebah. Apakah ini benar-benar kamu, Sayang? Kali ini Lia tengah memakai Tunik orange dengan rok bawahan berwarna hitam blus. Hijabnya pashmina yang terlilit menyamping seperti gaya hijab anak muda perempuan zaman sekarang. Semua sangat serasi dengan kulitnya yang kuning langsat mirip sepertiku. Wajahnya tenggelam dalam kecupannya yang mendarat di punggung tanganku. Aku terbangun. Dan menyentuh lembut pundak kanannya dengan menggunakan sentuhan tangan kiriku. Aku mendengar isak tangisnya yang menggebu, lalu mendengar kata maaf yang Lia ucapkan berkali-kali. Sekarang, apakah aku boleh memeluknya untuk sekali? Aku ingin menenangkannya dengan menghamburkannya dalam dekapanku.
Neng Ay
"Hmm ... Mbak, maaf Mbak ...."
Aku membantu Mbak itu berdiri, sambil cepat-cepat mengusap air mataku yang meleleh terus.
Di pesantren ini, aku tidak mengenal siapapun. Semua benar-benar terlihat begitu asing, begitu berbeda.
Aku lebih suka dengan Pondok Pesantrennya Uminya Gus Ammad. Yang meski harus sendiri, untuk tidur di kamar ndalemnya.
Namun aku, bagai menerima beribu ketenangan yang membuat aku bisa mendekat diri ke Allah dengan sholat sunahku.
"Iya tidak apa-apa, Dik. Mbak juga yang salah tadi tidak melihat kamu ...."
"Sakhsi ...."
Belum aku menjawab yang barusan dikatakan Mbak itu, dia sudah berlalu menghampiri seorang teman yang memanggilnya.
"Mas Ammad, kulo hanya ingin panjenengan ...."
Hatiku masih saja meronta memanggil nama yang sama, yaitu nama Mas Ammad. Bagaimana nama itu akan bisa terganti dengan nama Gus Wahyu? Aku bahkan seperti menduga, kalau nama Mas Ammad saja yang akan tetap ada.
Namun bagimana dengan masa depanku ini? Mau tidak mau, aku harus menggantikan nama Mas Ammad Menjadi nama Gus Wahyu.
Air mataku meleleh tiada henti, sementara kenangan itu selalu teringat dan datang tanpa mau pergi.
"Hari-hariku yang lelah, namun setiap kali aku melihatmu tersenyum ... maka hilanglah semua letihku."
Senyum Mas Ammad berasa terlihat di mana-mana.
Suara Mas Ammad menganggaung juga di mana-mana.
Kebersamaan yang tanpa sengaja itupun juga teringat dan mengalir terus di benakku.
Sunyinya malam yang syahdu membeku bersama ketakutan yang beradu di kala aku dengan Mas Ammad terjebak di ruangan itu. Hembusan angin yang terasa berbeda itu juga masih teringat jelas.
Aku ingin teriak namun tidak bisa. Mengeluh kepada siapa kah, aku?
Aku harus mengusap air mata ini, tidak ada yang boleh tahu kalau aku ini menangis mengingat Mas Ammad.
Karena aku di sini bukan hanya santri putri biasa namun aku adalah milik tunanganku.
Benar, Mas Wahyu.
Aku menuju tempat air wudhu dengan dada sesakku yang menahan tangis, lalu aku wudhu di sana.
Berasa semua air mataku tersapu bersama air wudhu itu, namun tetap saja menetes dengan deras kembali.
Selesai.
Aku mengambil mukenah, kemudian mendirikan sholat dan masih rokaat pertama hatiku berasa resah kembali. Air mataku malah semakin deras.
"Ya Allah, berikan ketenangan kepadaku. Semua ini begitu berat, aku seperti tiada kuat menjalani semua ini ...."
Aku bersujud dalam sholatku, membungkam tangisku di sana. Bersama air mata yang terus mengalir begitu saja.
Usai salam, aku melihat mukenah putih pemberian Mas Ammad yang di mana di bagian bawah dadaku basah penuh air mata.
Aku meraba mukenahku yang bagiannya tidak ada air mata, lalu mencium mukenahku itu.
Harum ini yang selalu mengingatkanku pada parfum Mas Ammad.
Mengingatkan kenanganku kembali. Kenangan yang bila mana aku samakan dengan kenangan-kenangan lain tidak akan dapat menyamai kenangan indah yang aku lalui bersama Mas Ammad.
"Aku mencintai Ay bukan karena nafsu, namun aku berharap dengan Ay aku bisa mengenal cinta yang Allah ridhoi."
Aku mengingat malam itu, suasananya begitu tenang. Begitu mendamaikanku. Aku tersenyum ketika pesan yang dikirim Mas Ammad itu aku membacanya ulang dan mencoba memahami maksud dari pesan itu.
Aku berasa malam itu bukanlah malam yang amat sepi tanpa kehadiran bulan.
Namun malam itu seperti malam panjang namun tidak pernah mengusik kata bahagia dalam hidup dan mimpiku.
Kalau memang Mas Ammad begitu mencintaiku dan Allah memang meridhoi hubungan cinta antara aku dengan Mas Ammad, lalu mengapa perpisahan ini haruslah terjadi?
Aku diam dengan ribuan air mata. Membisu dan mencoba menutupi luka-luka perpisahan yang terus merajamku. Di mana setiap pagi, siang dan malam menjalar bersama rinduku yang terus bersuara.
Apa yang bisa aku lakukan? Ini semua tidak semudah seperti membalik telapak tangan. Aku tidak pernah menyesal mengenal cinta Mas Ammad, namun aku hanya ingin bertanya kepada Allah.
Kenapa aku bisa dipertemukan dengan Mas Ammad lalu memisahkanku dengannya seperti ini?
Cinta itu begitu cepat, tanpa aku sadari keindahan cinta itu terasa terampas dari hidupku.
Cinta yang tiba-tiba bersemi dan aku rasa cinta yang akan menjadi masa depan terindah ternyata menjadi cinta yang aku kenang dengan kesedihan yang membara.
Ketika sedih itu, air mataku terusap dengan nasehat Mas Ammad yang mengalir. Ketika kesuksesan itu, Mas Ammad dengan bangga memberiku dukungan.
Ketika kegagalan itu, Mas Ammad mendampingiku agar aku tegar dan tetap kuat.
Ketika semua orang menjauh dariku, ada Mas Ammad yang mendekatiku dan mengajarkan apa itu cinta.
Semua terkenang dalam hatiku, hanyalah nama Mas Ammad yang kian mekar.
Meski perpisahan ini sudah terjadi, mengapa hatiku selalu yakin kalau Mas Ammad masih mencintaku dan akan terus mencintaiku? Mengapa aku begitu sulit melepas Mas Ammad?
Mengapa aku begitu terluka dengan perpisahan ini?
Sungguh terlalu dalamkah cintaku kepada Mas Ammad?
Ujian apa ini wahai tuhanku? Kenapa hati yang sudah terlanjur menyatu haruslah terpisah? Apa salah dua hati yang menyatu itu ya Allah?
"Dik, kamu tidak apa?"
Aku merasakan dari belakangku ada yang memegang pundak kananku.
Suara perempuan dan aku sepertinya barusan mendengar nada suara yang mirip dengan itu. Apakah Mbak kamar yang tidak sengaja aku buat jatuh tadi?
Aku mencoba mengusap air mataku dengan cepat. Lalu menghadap ke arah suara perempuan yang barusan menanyaiku. Apakah dia tahu kenapa alasan aku menangis?
"Kamu menangis?"
Pandanganku menunduk ke bawah. Air mata yang seharusnya aku sembunyikan justru malah mengalir lebih deras.
"Kamu kenapa, Dik?"
Mbak itu mengusap air mataku. Siapa Mbak ini? Aku tidak pernah mengenalnya dan hanya sekali bertemu dengannya ketika aku tidak sengaja menabraknya tadi. Kenapa Mbak ini bisa ke sini? Apakah tahu semua aku ini siapa?
"Tidak ada apa-apa, Mbak ...."
Aku memalingkan wajah setelah air mataku disekanya.
Aku tidak mau, ada orang lain tahu kalau aku memang lagi sedih. Termasuk Mbak yang sedang ada di hadapanku ini.
"Dengar, semua sudah pada tidur. Tinggal kamu Dik, yang sedang menangis terus di sini. Kamu tidak mau bubuk?"
Aku menggeleng dan kepalaku semakin menunduk.
Air mataku rasanya mulai kering, mataku terasa sembab seperti orang yang habis terkena beberapa pukulan.
Semua yang aku lihat juga begitu samar, dadaku sesak sehingga nafasku tersenggal-senggal.
Mbak ini, kenapa bisa ada di sini? Mengapa dia saja yang tahu kalau aku sedang menangis?
Benar kata Mbak ini, tanpa aku sadari ketika terbenam dalam tangisan. Ramainya pesantren mendadak terubah menjadi suara sunyi.
"Ikut, Mbak, yuk ... tidur sama, Mbak ...."
Aku menggeleng.
Aku tidak ingin pergi ke kamar dengan keadaanku yang seperti ini.
Aku tidak akan bisa menemui mereka teman-teman kamar baruku yang akan banyak bertanya kenapa aku menangis?
"Mbak pergi saja, aku tidak bisa ke kamar. Aku seperti orang yang habis dipukulin, Mbak. Tidak apa, Mbak pergi saja. Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku sedang sedih."
"Kamu sedih karena apa, Dik?"
Daguku diangkat oleh Mbak yang ada di depanku.
Aku menelan ludah, sambil menyembunyikan mataku.
Badanku masih gemetar dan lemas. Akupun malas juga untuk beranjak dari mushola pesantren ini.
Karena bungkaman kepanikan ini, Mas Ammad tanpa sengaja memelukku dari belakang. Bahkan bicara sedikitpun, dilarang sama Mas Ammad. Apakah Mas Ammad sengaja melakukan ini agar memelukku dari belakang? Tidak mungkin Mas Ammad kalau sengaja melakukan hal ini. Telapak tangan yang menutupi mulut dan hidungku seperti masker tebal ini, baunya harum parfum cendana. Mungkin telapak tangan itu, juga diberi parfum khas baju yang dipakai Mas Ammad. "Mas ...." Suaraku nyaring dan sepertinya tidak begitu jelas. Namun Mas Ammad tidak memperhatikan, justru merapatkan tangan kirinya di atas perutku. Sehingga tubuh belakangku seperti bersentuhan dengan bagian depan badannya.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
Lenny adalah orang terkaya di ibu kota. Ia memiliki seorang istri, tetapi pernikahan mereka tanpa cinta. Suatu malam, ia secara tidak sengaja melakukan cinta satu malam dengan seorang wanita asing, jadi ia memutuskan untuk menceraikan istrinya dan mencari wanita yang ditidurinya. Dia bersumpah untuk menikahinya. Berbulan-bulan setelah perceraian, dia menemukan bahwa mantan istrinya sedang hamil tujuh bulan. Apakah mantan istrinya pernah berselingkuh sebelumnya?
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Aku bingung dengan situasi yang menimpaku saat ini, Dimana kakak iparku mengekangku layaknya seorang kekasih. Bahkan perhatian yang diberikan padaku-pun jauh melebihi perhatiannya pada istrinya. Ternyata dibalik itu semua, ada sebuah misteri yang aku sendiri bingung harus mempercayai atau tidak.