Saat Tengku dan Galila dibawa pergi, Burhan memerintahkan penjaga keamanan untuk membubarkan kerumunan.
Dewi dan Kirani hendak berjalan pergi ketika seorang pria tinggi tiba-tiba menghalangi jalan mereka.
Dewi mengangkat kepalanya dan melihat bahwa pria itu adalah Kusuma.
Tatapan mata pria itu yang dingin sepertinya menembus dirinya.
Ketika mata mereka bertemu, suasana berubah menjadi sedikit canggung.
Melihat ketegangan di antara keduanya, Kirani, Burhan, dan yang lainnya di sekitarnya tidak berani mengeluarkan suara.
Dewi menatap Kusuma dengan tatapan tidak senang. Kusuma baru saja membantunya. Apa yang diinginkan pria ini darinya sekarang?
"Eh... Ada apa?" Dewi mencoba bertanya dengan santai.
"Apakah kamu sedang berpura-pura tidak mengingatku?" Kusuma memandangnya dari atas ke bawah dan mengerutkan kening. "Aku tidak menyangka kamu akan... begitu pelupa dan terbuka."
Dewi memiringkan kepalanya ke samping dengan bingung. Apa maksud dari ucapannya barusan?
Tepat ketika dia berusaha untuk memberikan tanggapan, Kusuma mencibir dan berbalik untuk pergi.
Dewi berteriak pada punggungnya yang perlahan menjauh, "Tuan Hadi, itu sama sekali bukan urusanmu!"
Ketika Kusuma berjalan ke depan Dewi barusan, Edi merasa sangat ketakutan hingga dirinya mulai berkeringat dingin. Tapi sekarang setelah Kusuma pergi, dia bergegas untuk mengikuti bosnya.
Setelah mengambil beberapa langkah, Edi berbalik dan membungkuk pada Dewi dua kali sambil memberikan tatapan memohon. Edi terlihat seperti dia hampir menangis.
Jika keadaan terus seperti ini, bagaimana dia bisa menyembunyikan identitas Dewi dari Kusuma?
Dia benar-benar celaka!
Setelah beberapa saat, Lincoln hitam berhenti di jalan masuk dan kedua pria itu masuk ke dalam mobil.
Memikirkan apa yang terjadi di kampus, Edi sempat merasa ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Tuan Hadi, apa yang terjadi tadi bukan salah Dewi. Jelas, dua mahasiswa lain itu memiliki niat untuk menjebaknya. Bagaimanapun juga, Dewi adalah seorang gadis yang cantik. Wajar jika orang lain merasa iri padanya. Jika kita memikirkannya dari perspektif ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa dia mengalami masa sulit di perguruan tinggi. Bagaimana menurut Anda?"
Perceraian antara Dewi dan Kusuma masih belum benar-benar terjadi. Terlepas dari keraguan yang semula dia rasakan, Edi tidak bisa menahan diri untuk tidak berpihak pada Dewi. Setiap pria dengan mudah akan terpesona olehnya.
Edi sudah lama bekerja untuk Kusuma. Meskipun sekarang Kusuma dan Dewi tidak rukun, Edi tahu bahwa bosnya menyimpan perasaan khusus untuk Dewi.
'Jika mereka berdua benar-benar menjalin hubungan di masa depan, mungkin Tuan Hadi akan memaafkanku karena sudah berbohong padanya dengan Dewi, ' pikir Edi gelisah.
"'Cantik'?" Kusuma meliriknya dengan dingin. "Apa kamu perlu hari libur untuk memeriksakan matamu?"
Mulut Edi langsung terkatup rapat.
'Jelas bagi semua orang bahwa Dewi itu cantik! Anda yang membutuhkan pemeriksaan mata, Tuan Hadi!' Meskipun Edi berpikir begitu, dia tidak berani mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.
"Oh, saya meminta maaf. Anda benar. Saya rasa saya tidak bisa melihatnya dengan baik." Edi menarik napas dalam-dalam dan buru-buru mengganti topik. "Ngomong-ngomong, Tuan Hadi, akan ada peluncuran produk besok malam. Anda berencana pergi dengan siapa?"
Kusuma tidak suka membuang waktu untuk hal-hal seperti ini. Bagaimanapun, di matanya semua wanita itu sama. Dia berpikir sejenak dan memilih satu orang wanita secara acak. "Cucu Tuan Malik." Jelas bahwa dia tidak ingat nama wanita yang dia pilih itu.
"Apa yang Anda maksud adalah Olga?" Edi memberikan pertanyaan dengan niat untuk membantu.
"Ya, dia."
"Baik, Tuan Hadi."
Begitu mobil dinyalakan, ponsel milik Kusuma berdering. Ada sebuah pesan teks masuk.
Kusuma membuka kunci ponselnya dan melihat pesan itu datang dari nomor yang tidak dikenal. "Halo, Tuan Hadi. Aku adalah istrimu, yang belum pernah kamu temui sebelumnya. Tolong luangkan satu menit dari jadwal Anda yang sibuk untuk menandatangani perjanjian perceraian. Terima kasih banyak!"
Setelah merenung selama beberapa detik, Kusuma membalas, "Mari kita bicarakan ini secara langsung besok."